JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pemeriksaan pendahuluan terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) pada Senin (5/12/2022). Permohonan yang diregistrasi MK dengan Perkara Nomor 116/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Bonatua Silalahi dan PT Bina Jasa Konstruksi sebagai Pemohon.
Bonatua Silalahi mempersoalkan norma Pasal 1 angka 6 UU12/11 yang menyatakan “Peraturan Presiden (PS) adalah Peraturan Perundang-Undangan (PPU) yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah PPU yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan”. Selain norma di atas, para Pemohon juga mempersoalkan Pasal 7 ayat 1 dan Pasal 13 UU P3 beserta penjelasannya.
Dalam persidangan yang digelar secara daring, Bonatua mengatakan peraturan presiden dapat dibentuk tanpa alasan yang jelas atau tanpa perintah yang jelas dari peraturan yang lebih tinggi diatas. “Dimana sebelumnya bahwa UU ini sebelum diubah tidak ada klausul seperti ini, waktu itu dijaman presiden Megawati. Jadi akhirnya saya tertarik untuk menguji mengapa tiba-tiba presiden dapat membuat peraturan tanpa perintah UUD 1945 yang memerintahkan DPR beserta presiden membentuk UU lalu UU memerintahkan dibentuk peraturan pemerintah lalu peraturan pemerintah membentuk peraturan presiden,” terangnya.
Lebih lanjut Bonatua menjelaskan, UU P3 bermasalah karena tidak menyebutkan sama sekali menambah posisi peraturan presiden berbeda dengan UUD 1945. “UUD 1945 sama sekali tidak menyebut jenis PPU yang disebut, diistilahkan atau hal lain yang bermakna seperti Peraturan Presiden. Hal ini menandakan bahwa PS sama sekali bukanlah PPU yang diatur dalam konstitusi kita dan bisa dipastikan keberadaannya secara langsung bukanlah berdasar pada UUD 1945,” ujarnya.
Dalam permohonannya, para Pemohon menjelaskan bahwa dengan adanya pemberlakuan pasal a quo yang menyatakan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai Peraturan perundang-undangan yang baru dan langsung menempati posisi hierarki lebih rendah dari Peraturan Pemerintah (PP) dan lebih tinggi dari Peraturan Daerah Provinsi dan Pertauran Daerah/Kabupaten Kota berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para Pemohon terhadap dasar pembentukan Perpres khususnya yang dibentuk atas dasar penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Para Pemohon juga memandang frasa “atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan” dalam pasal yang diujikan juga mengandung multitafsir. Multitafsir tersebut di antaranya PP boleh dibuat tanpa adanya perintah pelaksanaan dari UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Selain hal tersebut pembentukan perpres juga dapat mengakibatkan terjadinya intervensi bahkan barter kekuasaan antara kekuasaan pemerintah terhadap kekuasaan lainnya dengan adanya pembentukan perpres. Untuk itu, para Pemohon meminta MK untuk menyatakan perpres bukanlah peraturan perundang-undangan turunan langsung dari UUD 1945, frasa “atau dalam menyelenggarakan pada pasal a quo dihapus, tidak sesuai dan batal demi hukum.
Sistematika Penulisan
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk memperbaiki kedudukan hukum Pemohon. “Dalam penulisan secara formal, Anda harusnya lihat penulisan yang benar seperti apa. Ini penulisan UUD 1945 anda tulis UU 45, ini tidak benar. Lengkapi dulu UUD Negara Republik Indonesia baru anda kurung kemudian Anda sebut dengan UUD 1945. Itu harus cermat penulisannya,” ujar Enny.
Lebih lanjut Enny juga mengatakan kualifikasi pemohon apakah sebagai perseorangan atau badan hukum. “Itu dikembalikan kepada saudara, tetapi kalau Anda menggunakan badan hukum, Anda harus bisa membuktikan badan hukum itu bentuknya di situ kemudian siapa yang berhak mewakili dasar hukumnya apa, Anda tunjukan yang berhak mewakili di pengadilan apa dan atas nama siapa. Anda harus tunjukan dengan jelas,” sarannya.
Sementara Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon untuk mempelajari Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK). “Barangkali Anda juga belum pernah buka. Apa itu PMK belum tahu? Disitu nanti Anda lihat bagaimana sistematika ataupun bentuk permohonan yang lengkap. Itu juga harus dijelaskan harus ada identitas, kewenangan MK ada kedudukan hukum, posita dan petitum. 5 komponen ini yang harus jelas. Lihat nanti di Pasal 10 dan Pasal 11 PMK Nomor 2 Tahun 2021 itu,” terang Manahan.
Selain itu, Manahan juga menyarankan Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. “Apa kerugian konstitusional saudara, atau PT saudara yang saudara katakana ini dalam berlakunya norma Pasal 13, Pasal 1 angka 6 itu yang harus dimohonkan disini. Kepentingan saudara menguji norm aini apakah ada kerugian konstitusional yang dialami saudara atau perusaaan ini sehingga norma ini perlu diperbaiki atau malah perlu dibatalkan,”paparnya.
Panel hakim yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams memberikan waktu selama 14 hari kerja bagi Pemohon untuk melakukan perbaikan. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Andhini S.F.