JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) terhadap UUD NRI 1945 pada Senin (5/12/2022). Permohonan Nomor 109/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muh. Ibnu Hajar Rahim yang berprofesi sebagai dosen pada Universitas Presiden yang juga pakar hukum pidana. Pada sidang hari ini, Hakim Konstitusi Arief Hidayat bertindak sebagai pimpinan Sidang Panel dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih.
Pemohon yang hadir secara daring menyampaikan perbaikan permohonan di antaranya menambahkan kewenangan MK dalam perkara a quo; memperkuat kedudukan hukum Pemohon dengan menyertakan penjelasan hak konstitusional yang telah dirugikan oleh berlakunya norma yang diujikan; dan syarat kedudukan hukum Pemohon sebagai perorangan warga negara dengan menyertakan KTP dan juga identitas sebagai dosen di Universitas Presiden.
“Pemohon juga menyertakan bukti berupa karya tulis yang dibuat Pemohon sebagai pakar dalam bidang hukum pidana. Pemohon juga menyertakan bukti tentang keterangan keahliannya di Pengadilan Jambi untuk memberikan keterangan/keilmuannya sebagai ahli hukum pidana. Terkait UU PSK ini, Pemohon juga menyertakan studi perbandingannya dalam berbagai konvensi internasional,” jelas Ibnu yang dalam permohonannya menyatakan Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945.
Selain itu, Pemohon juga telah mengelaborasi adanya pertentangan pasal a quo dan penjelasannya dengan UUD 1945. Pemohon juga menyertakan risalah pembuatan UU PSK yang di dalamnya pembentuk undang-undang memberikan perlindungan pada ahli yang memberikan keterangan. Berdasarkan perbaikan keterangan yang telah dilakukan tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan yang diajukan pada persidangan ini.
Baca juga:
Perlindungan Keterangan Ahli dalam Perkara Pidana
Sebagai tambahan informasi, Muh. Ibnu Hajar Rahim (Pemohon) mengujikan Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya. Menurutnya, materi yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Pasal 10 ayat (1) UU PSK berbunyi, “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.” Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PSK berbunyi, “Yang dimaksud dengan “memberikan kesaksian tidak dengan iktikad baik” antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat.”
Pemohon dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (21/11/2022) menjelaskan, norma Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya tersebut tidak pasti, tidak adil, dan diskriminatif karena hanya memberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata kepada saksi, korban, saksi pelaku dan/atau pelapor yang memberikan kesaksian atau laporan. Namun tidak memberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata kepada seorang ahli yang memberikan keterangan dalam perkara pidana. Sebab, sewaktu-waktu dapat saja dituntut atas keterangan sebagai ahli pada tingkat penyidikan.
Padahal menurut Pemohon, keterangan ahli merupakan salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian di persidangan. Dalam perkara pidana, keterangan ahli memiliki kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya sebagaimana dimaksudkan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. “Seharusnya seorang ahli yang memberikan keterangan itu dihormati, diapresiasi, dan dilindungi. Karena ia telah mampu membantu penegak hukum dalam membuat terang suatu perkara sesuai keahliannya. Jadi dalam UU ini tidak ada jaminan bagi ahli yang memberikan keterangan saat bersidang dalam perkara tindak pidana,” jelas Ibnu.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.