JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-undang Nomor 14 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 56 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Tambrauw di Provinsi Papua Barat (UU Tambrauw) pada Kamis (1/12/2022). Permohonan Perkara Nomor 115/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Bupati dan Wakil Bupati Manokwari, Hermus Indou dan Edi Budoyo. Para Pemohon mengujikan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Tambrauw.
Pasal 3 ayat (1) UU Tambrauw berbunyi, “Kabupaten Tambrauw berasal dari Sebagian wilayah Kabupaten Sorong dan sebagain wilayah Kabupaten Manokwari yang terdiri atas cakupan wilayah: a. Distrik Fef, b. Distrik Miyah, c. Distrik Yembun, d. Distrik Kwoor, e. Distrik Sausapor, f. Distrik Abun, g. Distrik Amberbaken, h. Distrik Kebar, i. Distrik Senoi, j. Distrik Mubrani, dan k. Distrik Moraid.”
Pasal 5 ayat (1) UU Tambrauw berbunyi, “Kabupaten Tambrauw mempunyai batas-batas wilayah: a. Sebelah utara berbatasan dengan Samudera Pasifik. b. Sebelah timur berbatasan dengan Kampung Wariki, Kampung Kasi Distrik Sidey Kabupaten Manokwari, dan Kampung Meifowoska Distrik Testega Kabupaten Pegunungan Arfak. C. Sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Aifam Distrik Aifat Timur, Kampung Yarata Distrik Aifat Utara, Kampung Seya Distrik Mare Kabupaten Maybrat, dan Kampung Inofina Distrik Moskona Utara Kabupaten Teluk Bintuni. D. Sebelah barat berbatasan dengan Kampung Asbaken Distrik Makbon dan Kampung Sailala Distrik Sayosa Kabupaten Sorong.”
Berlakunya UU Tambrauw menyebabkan pemindahan 4 distrik, yakni Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani dari wilayah pemerintahan Kabupaten Manokwari ke wilayah pemerintah Kabupaten Tambrauw. Hal ini berakibat pada pembelengguan dan pengebirian aspirasi masyarakat adat Suku Meyah dan Suku Mpoor sebagai pemilik tanah ulayat yang berdiam dan menetap pada keempat distrik tersebut. Padahal secara rumpun, bahasa, dan adat istiadat serta budaya berbeda dengan masyarakat yang ada pada enam distrik lainnya, yakni Distrik Fet, Distrik Sausafor, Distrik Kwoor, Distrik Abun, Distrik Yembun, dan Distrik Miyah. Oleh karena itu, para Pemohon menilai pasal tersebut telah melanggar ketentuan Pasal 18B ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.
Para Pemohon dalam petitum permohonan provisi meminta Mahkamah agar memerintahkan Presiden RI dan DPR RI untuk menunda pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya sampai adanya Putusan atas Permohonan ini.
“Adanya pergeseran wilayah akibat pemekaran wilayah ini, berakibat pula pada pergeseran hak ulayat masyarakat adat. Untuk itu, para Pemohon meminta Mahkamah mengembalikan empat distrik yaitu Distrik Amberbaken, Distrik Kebar, Distrik Senopi, dan Distrik Mubrani masuk ke dalam cakupan wilayah Kabupaten Manokwari,” kata Emilianus Jimmy Ell selaku kuasa hukum Pemohon, di hadapan Majelis Sidang Panel yang terdiri atas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Hakim Konstitusi Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Kedudukan Hukum
Menanggapi permohonan ini, Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam nasihatnya menyebutkan pemerintah daerah dalam perkara ini seharusnya melibatkan DPRD kabupaten sebagai pemohon. Dua unsur kepala daerah dan DPRD kabupaten ini menjadi satu kesatuan sebagai Pemohon. “Oleh karena itu, jika permohonan ini diajukan dua unsur, maka surat kuasanya harus diganti,” kata Suhartoyo.
Berikutnya Suhartoyo meminta para Pemohon menata ulang sistematika permohonan, mulai dari identitas para Pemohon; penjelasan berupa kewenangan MK dalam PMK 2/2021; kedudukan hukum para Pemohon yang merepresentasikan hak-hak dan kewenangan pemerintah daerah yang merasa terganggu dengan berlakunya norma yang diujikan ini; hingga uraian posita dan petitum. Selain itu, para Pemohon juga diminta untuk membuat representasi DPD dan DPRD yang mewakili unsur pemerintah pada daerah tersebut sebagai gambaran umum bagi Mahkamah dalam melihat bentangan daerah yang diajukan pengujian dalam perkara ini.
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam nasihatnya juga mencermati kedudukan hukum Pemohon. Dalam banyak putusan MK yang berkaitan dengan pembentukan daerah, kewenangan daerah, dan sejenisnya, kedudukan hukum yang dapat mengajukan adalah pemerintah daerah, yakni kepala daerah dan DPRD.
“Oleh karena itu, jika ingin mengambil organ ini sebagai Pemohon maka harus ada bukti perkara diajukan oleh DPRD. Caranya dapat dilakukan dengan DPRD dari hasil sidang paripurna. Jika tidak terpenuhi maka para Pemohon dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum,” kata Saldi pada sidang yang juga dihadiri oleh Bupati Kabupaten Manokwari, Hermus Indou secara daring.
Berikutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menyarankan agar para Pemohon memperbarui surat kuasa serta kedudukan hukum yang merupakan pintu masuk permohonan. Hal ini perlu diuraikan dengan benar. Pada permohonan ini, baru ada Pemohon I adalah Bupati dan Pemohon II adalah Wakil Bupati, maka unsur DPRD-nya belum disertakan dan hal ini perlu ada.
Sebelum menutup persidangan, Daniel mengatakan para Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Para Pemohon selambat-lambatnya dapat menyerahkan perbaikan permohonan pada Rabu, 14 Desember 2022 ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim