JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) dalam amar putusan menyatakan menolak untuk seluruhnya terhadap permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ). Permohonan pengujian UU LLAJ ini diajukan oleh Irfan Kamil yang berprofesi sebagai wartawan. Pemohon mendalilkan Pasal 273 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 273 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sidang pengucapan Putusan Nomor 98/PUU-XX/2022 ini digelar di MK pada Rabu (30/11/2022) secara daring.
Pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, pemerintah sebagai instansi pembina dapat melakukan pembagian urusan pada pemerintah daerah baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota. Hal ini kemudian ditegaskan kembali dalam pengaturan mengenai penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam pelayanan langsung kepada masyarakat yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU LLAJ, yaitu dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
Menurut Mahkamah, dalam rangka mengatur lebih lanjut pembagian urusan pemerintah pusat ke pemerintah daerah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota tersebut, kemudian ditentukan mengenai rencana induk jaringan lalu lintas dan angkutan jalan yang dibagi menjadi: a. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nasional; b. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Provinsi; dan c. Rencana Induk Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kabupaten/Kota [vide Pasal 14 ayat (3) UU LLAJ]. Demikian juga dengan rencana tata ruang wilayah juga dibagi berdasarkan wilayah nasional, wilayah provinsi, dan wilayah kabupaten/kota, serta kewenangan untuk menetapkan kelas jalan juga dibagi berdasarkan jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten dan jalan kota [vide Pasal 20 ayat (1) UU LLAJ].
UU Jalan
Dikatakan Enny, pengaturan mengenai jalan selain diatur dalam UU LLAJ, juga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU 38/2004) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (UU 2/2022). Sebagai UU yang bersifat lex specialis maka pengaturan mengenai jalan secara lebih spesifik bisa ditemukan dalam UU a quo. Oleh karenanya dalam membaca ketentuan yang terkait dengan jalan dalam UU LLAJ tidak boleh dilepaskan dengan UU tentang Jalan. Mengenai penyelenggara jalan yang dipersoalkan oleh Pemohon dengan tegas didefinisikan dalam Pasal 1 angka 3 UU 2/2022, yaitu pihak yang melakukan pengaturan pembinaan, pembangunan, pengawasan jalan sesuai dengan kewenangan. Sementara itu, berkenaan dengan pembagian dan pengelompokan jalan juga telah diatur secara terperinci dalam UU 2/2022. Bahkan, pengaturan mengenai pemeliharaan jalan dan perbaikan kerusakan jalan juga diatur dalam UU 2/2022. Persoalan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan yang Pemohon persoalkan pun terjawab dalam UU 2/2022. Selain UU tentang Jalan, pengaturan teknis mengenai jalan juga telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (PP 34/2006). Dengan demikian, dalil yang menjadi kekhawatiran Pemohon atas potensi kerugian konstitusional yang potensial akan dialami akibat inkonstitusionalitas norma Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009 menurut Mahkamah adalah tidak beralasan menurut hukum.
Penyelenggara Jalan
Terhadap petitum Pemohon yang memohon kepada Mahkamah agar memaknai frasa “penyelenggara jalan” menjadi “Bahwa Penyelenggara Jalan antara lain Penyelenggara Jalan Nasional adalah Presiden dan/atau Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang jalan, Penyelenggara Jalan Provinsi adalah Pemerintah Daerah yang dilaksanakan oleh Gubernur, Penyelenggara Jalan Kabupaten/Kota adalah Bupati/Walikota”, menurut Mahkamah justru pemaknaan demikian akan mempersempit subjek hukum dari ketentuan Pasal 24 ayat (1) UU 22/2009 yang mengatur kewajiban penyelenggara jalan untuk memperbaiki kerusakan jalan, dan juga ancaman sanksi yang diatur dalam Pasal 273 ayat (1) UU 22/2009.
Terlebih lagi, dalam UU 2/2022 telah diatur mengenai pembagian jalan berdasarkan peruntukannya yaitu jalan umum, dan jalan khusus, dan pembagian jalan umum berdasarkan fungsinya yaitu jalan arteri, jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan lingkungan. Sedangkan pembagian jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, jalan kota, dan jalan desa yang merupakan pembagian jalan umum berdasarkan statusnya hanya sebagian dari jenis jalan yang diatur dalam UU 2/2022. Sehingga, jika mempersempit subjek hukum terhadap kerusakan jalan sebagaimana petitum Pemohon justru menjadi kontraproduktif dengan keinginan Pemohon sendiri untuk mendapatkan perlindungan sebagai pengguna jalan. Dengan kata lain, petitum Pemohon yang demikian, menjadi bertentangan dengan kehendak Pemohon dalam posita permohonannya.
Oleh Karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 273 ayat (1) UU LLAJ tidak menimbulkan ketidakpastian hukum yang dijamin dalam UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon. Dengan demikian dalil permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Baca juga:
Wartawan Pengguna Jalan Perbaiki Permohonan
Jalan Rusak Tak Kunjung Diperbaiki, Wartawan Persoalkan Peran Penyelenggara Negara
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.