Satu lagi bukti disharmoni antara peraturan perundang-undangan yang disusun DPR dan Pemerintah.
Di satu sisi, UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) tidak memberikan hak kepada orang asing dan badan hukum asing untuk meminta informasi publik di Indonesia. Sebaliknya, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) memberi lampu hijau bagi investor âtermasuk asingâmemperoleh informasi.
Pasal 1 angka 12 UU KIP menegaskan bahwa pemohon informasi hanya warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia. Negasinya, warga negara asing dan badan hukum asing tak memiliki hak untuk meminta informasi publik. Institut Studi Arus Informasi (ISAI) menilai aturan semacam ini diskriminatif.
Pengamat akses informasi dari ICEL, Prayekti Murhanjanti juga berpendapat bahwa pembatasan warga negara asing dan badan hukum asing meminta informasi publik punya korelasi dengan investasi. Kebijakan itu berpotensi menghambar iklim investasi karena melanggar prinsip internasional tentang hak setiap individu memperoleh informasi publik. Di sejumlah negara, permintaan informasi publik tidak dilandaskan pada kewarganegaraan peminta.
Pakar hukum investasi Prof. Erman Rajagukguk juga melihat ada yang perlu diperbaharui dalam UU KIP, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan yang menghambat investasi. Ia berpendapat sepanjang informasi itu bukan rahasia negara dan bukan rahasia perusahaan, siapapun boleh meminta informasi tersebut. âIni kan era informasi, ada pasal-pasal yang perlu diperbaiki antara lain dengan judicial review,â ujarnya.
Tetapi di negara lain, kata Agus Sudibyo, aturan pembatasan meminta informasi oleh warga negara asing juga dikenal. Soal akses informasi oleh investor asing bisa saja diatur secara khusus dalam perundang-undangan investasi.
Hak investor âtermasuk investor asing- untuk mendapatkan informasi memang secara tegas diatur dalam UUPM yang mulai berlaku 26 April lalu. Pasal 14 Undang-Undang ini menyebutkan setiap penanam modal berhak mendapt: informasi yang terbuka mengenai bidang usaha yang dijalankan. Selain hak atas informasi, setiap investor juga berhak mendapatkan kepastian hak, hukum, dan perlindungan; hak pelayanan; dan berbagai bentuk fasilitas kemudahan.
Penyelenggaraan penanaman modal, menurut pasal 3 UUPM, juga mengacu pada asas keterbukaan. Asas ini mengandung arti pengakuan terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penanaman modal. Lantas, apakah pembatasan ruang WNA dan badan hukum asing memohon informasi merupakan sikap diskriminatif?
Suprawoto, Kepala Badan Informasi Publik Depkominfo, juga memastikan bahwa informasi yang dibutuhkan oleh investor pada umumnya bersifat terbuka dan tersedia setiap saat. Tidak ada niat untuk mendiskriminasi investor berdasarkan kewarganegaraannya. Ia tidak yakin pembatasan pemohon dalam UU KIP akan berpengaruh pada tingkat investasi. âJadi tidak akan menghambat investasi,â ujarnya.
Menurut Suprawoto, pembatasan akses WNA sebagai pemohon informasi publik merupakan bentuk privelese kepada warga negara Indonesia, sekaligus kewajiban negara memberikan pelayanan prioritas kepada warga negaranya. Lagipula, Pemerintah selalu menyediakan informasi yang dibutuhkan investor. Kalaupun ada yang disimpan, itu adalah informasi yang bersifat rahasia, seperti pertahanan dan keamanan.
Tentu saja tak semua informasi harus dibuka kepada investor asing. Selain rahasia negara, rahasia perusahaan juga tidak bersifat terbuka. Untuk mengantisipasi penyalahgunaan informasi, kata Suprawoto, UU KIP mewajibkan pemohon informasi menyebutkan alasan permintaan atas informasi publik. (CRD/Mys)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19052&cl=Berita
Foto: http://4rd1.files.wordpress.com/2007/09/vista_gavel.jpg