JAKARTA, HUMAS MKRI – Permohonan pengujian Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap UUD 1945 ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan Nomor 100/PUU-XX/2022 ini dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya pada Rabu (30/11/2022). “Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar.
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra menjelaskan sukuk atau lebih dikenal sebagai obligasi syariah adalah instrumen keuangan berupa surat berharga yang merupakan bukti kepemilikan atas aset, baik itu berupa tangible, intangible ataupun kontrak proyek dari aktivitas tertentu yang mewajibkan emiten membayar pendapatan bagi hasil kepada pemegang sukuk dan membayar kembali sukuk sesuai dengan tanggal jatuh tempo yang sudah disepakati. Sukuk memiliki karakteristik yang berbeda dengan obligasi konvensional, yaitu dalam kegiatan mulai dari transaksi diterbitkannya sampai pada aktivitas penyerahan hasil harus sesuai dengan prinsip syariah, antara lain transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat serta harus terbebas dari berbagai unsur larangan, antara lain riba, maysir, dan gharar. Berdasarkan hal tersebut, maka penerbitan Sukuk Negara atau SBSN harus memenuhi prinsip syariah.
“Tujuan penerbitan Sukuk Negara adalah mendapatkan dana masyarakat di luar pajak yang kemudian kumpulan dana tersebut digunakan untuk membiayai program pembangunan nasional. Penerbitan Sukuk Negara tidak hanya bermanfaat bagi negara tetapi juga bagi warga negara karena dapat digunakan sebagai sarana berinvestasi sekaligus membantu pemerintah dalam menyelesaikan program pembangunan nasional,” ujar Saldi.
Oleh karena itu, sambung Saldi, dalam rangka memberikan dasar hukum bagi pemerintah dalam melakukan penerbitan sukuk dan untuk mendukung perkembangan keuangan syariah maka pemerintah kemudian membentuk UU SBSN yang mengatur secara khusus mengenai penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN.
“Dengan berlakunya UU SBSN maka menjadi dasar hukum (legal basis) bagi penerbitan dan pengelolaan Sukuk Negara atau SBSN, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang akan menggunakan Sukuk Negara dalam berinvestasi berdasarkan prinsip syariah di mana hak warga negara Indonesia khususnya yang beragama Islam dalam menjalankan sistem ekonominya mengacu pada Al Qur’an, Hadist, dan ijma’ pun menjadi lebih dilindungi oleh negara,” jelas Saldi.
Frasa Prinsip Syariah
Lebih lanjut Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menerangkan, terkait dengan dalil Pemohon yang mempersoalkan apakah frasa “prinsip-prinsip syariah“ dalam Pasal 25 UU SBSN bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, menurut Mahkamah, secara umum prinsip syariah dalam transaksi keuangan terdiri dari Ta’awun yaitu prinsip kemitraan; Kemaslahatan yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat; Tawazun yaitu prinsip kesatuan dan saling bekerja sama; prinsip saling ridho yaitu tidak ada paksaan dalam menjalani perjanjian yang telah ditetapkan, dan Rahmatan lil ‘Alamiin yaitu prinsip yang mengutamakan manfaat bagi siapa saja. Salah satu prinsip syariah yang diterapkan dalam Sukuk Negara atau SBSN adalah transaksi yang dilakukan oleh para pihak harus bersifat adil, halal, thayyib, dan maslahat sebagaimana yang dimuat dalam Penjelasan Umum UU SBSN.
Sehingga, sambung Wahiduddin, jika dicermati secara substansi maka frasa “prinsip syariah” atau frasa “prinsip-prinsip syariah” sebenarnya adalah sama, yaitu menunjukan sesuatu yang jamak dan tidak tunggal. Penggunaan frasa “prinsip syariah” dalam arti jamak juga digunakan dalam Peraturan Pelaksanaan dari UU SBSN, yaitu dalam Pasal 17 ayat (1) huruf e Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118 Tahun 2008 tentang Penerbitan dan Penjualan Surat Berharga Syariah Negara Dengan Cara Bookbuilding Di Pasar Perdana Dalam Negeri menyebutkan bahwa dalam melakukan kegiatan penerbitan dan penjualan SBSN dengan cara bookbuilding harus mencantumkan pernyataan kesesuaian SBSN dengan prinsip syariah dalam dokumennya. Oleh karena itu, penggunaan frasa “prinsip syariah” atau “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU SBSN tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, karena secara substansi keseluruhan UU SBSN adalah bentuk pemenuhan kewajiban negara terhadap hak konstitusional warganya yang diamanahkan oleh UUD 1945.
“Terlebih lagi, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU 19/2008 tidak menjadikan Pemohon tidak dapat melaksanakan hak konstitusionalnya yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pemohon tetap dapat melakukan transaksi keuangan berupa pembelian Sukuk Negara sesuai dengan prinsip-prinsip syariah sebagai pelaksanaan Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945,” tandas Wahiduddin.
Baca juga:
Menyoal Ketidakjelasan Prinsip Syariah dan Legitimasi MUI
Advokat Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Pengujian UU SBSN
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan pada Rabu (19/10/2022), Pemohon menerangkan bahwa ia merupakan perorangan warga negara Indonesia, baik secara potensial maupun aktual merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 UU SBSN. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan untuk memilah-milah prinsip syariah sesuai kehendak Pemerintah, hilangnya hak untuk beribadat Pemohon sesuai dengan keyakinannya, serta hak atas kepastian hukum yang sama terhadap prinsip syariah. Dikatakan Rega, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU SBSN bersifat multitafsir karena mempunyai pengertian jamak.
Menurut Rega, pengertian “prinsip-prinsip syariah” dengan melihat kepada penjelasan Pasal 25 UU SBSN yang menyatakan, “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah”, memberikan makna banyaknya jumlah lembaga yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Hal ini menunjukan pluralitas prinsip syariah itu ditentukan dari pluralitas lembaga yang mempunyai kewenangan.
Lebih lanjut Rega menjelaskan, kerancuan logika berpikir Pemerintah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak menginginkan kehilangan kontrol atas keyakinan agama rakyatnya (prinsip syariah). Pemerintah berdalih agar masyarakat tidak kebingungan memilih lembaga fatwa yang majemuk di masyarakat maka penetapan prinsip syariah terkait perbankan syariah hanya dapat melalui MUI. Sedangkan jika Pemerintah yang membutuhkan, Pemerintah bebas menunjuk lembaga fatwa yang dikehendaki. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Untuk itu dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” pada Pasal 25 UU SBSN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah” serta meminta MK untuk menyatakan frase “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana