JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar kembali sidang lanjutan pengujian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pada Selasa (29/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang dipimpin ketua MK Anwar Usman beserta tujuh hakim konstitusi lainnya. Permohonan Nomor 86/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian KUHP ini diajukan oleh Robiyanto yang berprofesi sebagai wiraswasta.
Agenda sidang kali ini yakni mendengar keterangan Ahli Pemohon. Pakar Hukum Pidana Suhandi Cahaya dalam kapasitasnya sebagai ahli Pemohon dalam persidangan secara daring mengatakan daluwarsa selama 18 tahun dari tindak pidana pembunuhan sangat tidak adil, karena tersangka hingga hari ini belum pernah diadili tetapi SP3 telah terbit.
“Jadi SP3 yang dilakukan oleh penyidik atau kejaksanaan sangat merasuki keluarga Pemohon. Dimana keadilan di situ nampaknya sebagai tersangka menunggu sampai daluwarsa sehingga sengaja tidak bisa diadili,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Suhandi, alangkah bijaknya masalah daluwarsa diperpanjang seumur hidup mengingat adanya asas-asas keadilan dari Aristoteles atau adanya perbandingan-perbandingan dari MK. Alangkah baiknya kalau MK Indonesia mempunyai kebijakan agar daluwarsa dihapus atau diperpanjang seumur hidup pada tersangka yang melakukan tindakan pidana tersebut.
Baca juga:
Tak Peroleh Keadilan Atas Kematian Orang Tuanya, Ahli Waris Uji KUHP
Pemohon Uji KUHP Pertajam Kerugian Konstitusional
DPR Sebut Adanya Perubahan Masa Daluwarsa Kasus dalam RUU KUHP
Keterangan Ahli Terlambat, MK Tunda Sidang Uji KUHP
Sebagai informasi, Robiyanto (Pemohon) mendalilkan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan UUD 1945. Pemohon menceritakan orang tuanya atas nama Taslim meninggal dunia pada 14 April 2002 akibat dibunuh secara sadis di Pasar Malam Balai, Kelurahan Karimun, Kecamatan Tebing, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Atas kejadian ini, Pemohon melapor kepada Kepolisian Resor Karimun. Terhadap laporan tersebut dua orang yang kemudian menjadi terpidana dan dijatuhi penjara selama 15 tahun, sedangkan 5 lima orang lainnya masuk pada daftar pencarian orang (DPO). Namun perkara atas 2 orang yang ditetapkan tersangka oleh Majelis Hakim dihentikan penyidikannya oleh Kepolisian Republik Indonesia dengan alasan hukum perkara daluwarsa sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 78 ayat (1) angka (4) KUHP.
Pemohon melalui kuasa hukumnya, Jhon Asron Purba, mendalilkan ketidakadilan masa daluwarsa penuntutan yang dialami Pemohon pada perkara ini, berpotensi membuat pelaku tindak pidana berat, keji, dan biadab yang semestinya dihukum mati atau seumur hidup tidak memperoleh hukuman sebagaimana perbuatannya. Selain itu, sambung Jhon, pasal a quo juga berpotensi merugikan hak konstitusional Pemohon atas hak pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. Sebab daluwarsanya masa penuntutan terhadap pelaku tindak pidana mati atau pidana penjara seumur hidup (dalam hal ini 20 tahun) yang daluwarsanya hanya 18 tahun. Di tambah pula, Pemohon berpotensi tidak adanya kepastian hukum terhadap kematian orang tua Pemohon terhadap 5 orang masih DPO dan belum ditemukan sampai saat ini.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Pemohon dalam Petitumnya memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Serta menyatakan materi muatan Pasal 78 ayat (1) angka 4 KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, lebih dari delapan belas tahun dan atau 36 tahun.”
Penulis: Utami Argawati
Editor: Nur R.
Humas: Andhini S.F.