JAKARTA, HUMAS MKRI - DPR berpandangan keputusan tentang larangan berkunjung ke Indonesia oleh para pelaku pelanggaran HAM berat tidak tepat jika dilakukan melalui mekanisme yudikatif. Bagi pengadilan HAM Indonesia yang dengan mengadili pelaku secara in absentia atau dihadiri tanpa hadir merupakan suatu hal yang tidak mungkin dilaksanakan. Sebab hal demikian melanggar ketentuan hukum acara pidana Indonesia, dan hal tersebut menjadi ranah kekuasaan eksekutif dan legislatif.
Demikian keterangan yang disampaikan Arteria Dahlan dari DPR RI dalam sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Senin (28/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kelima untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Kejaksaan Agung (kuasa Presiden).
Pendekatan Diplomatik-Politik
Lebih jauh Arteria menanggapi dalil Pemohon yang menyatakan pengadilan HAM Indonesia seharusnya dapat mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat WNA yang dilakukan di Indonesia. DPR RI berpendapat lebih tepat apabila persoalan tersebut menggunakan pendekatan diplomatik dan politik sebagaimana ketentuan Pasal 13 ayat (1) huruf a dan g Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian. Di dalam norma tersebut mengatur Pejabat Imigrasi Indonesia berhak menolak orang asing masuk wilayah Indonesia, salah satunya jika nama orang asing tersebut tercantum dalam daftar penangkalan. Penangkalan adalah larangan terhadap warga negara asing untuk masuk wilayah Indonesia berdasarkan alasan keimigrasian. Keputusan penangkalan tersebut, kata Arteria, dapat diberlakukan seumur hidup terhadap orang asing yang bersangkutan apabila Pemerintah Indonesia menganggap orang asing tersebut berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban umum.
“Oleh karena itu, dalil yang dinyatakan oleh Para Pemohon lebih tepat menggunakan pendekatan keputusan politik Eksekutif. Dalil yang menyatakan ketentuan pengadilan HAM Indonesia dapat mengadili pelaku pelanggaran HAM berat di luar negeri yang dilakukan oleh warga negara asing adalah keliru. Karena itu harapan para Pemohon, setidak-tidaknya pelaku pelanggaran HAM berat WNA tersebut tidak berkunjung ke Indonesia sudah memiliki dasar hukum pada ranah kekuasaan eksekutif, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM untuk menangkal masuknya orang asing atau WNA dimaksud ke Indonesia,” terang Arteria dalam sidang yang dipimpin Ketua MK dengan didampingi hakim konstitusi lainnya.
Tidak Melanggar Konstitusi
Pada tatanan hukum internasional, Arteria menjelaskan bahwa korban pelanggaran HAM berat memperoleh restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi yang dikenal dengan Resolusi Majelis Umum PBB 4034 tertanggal 29 November 1985. Dalam kerangka hukum nasional, hak ini diatur pula secara limitatif. Mengenai mekanisme penyerahan kepada negara yang bersedia menyerahkan pelaku pelanggaran HAM berat ini, Indonesia tidak dapat melakukannya karena ada perjanjian ekstradisi dengan satu negara. Apabila Indonesia meratifikasi Statuta Roma untuk menyerahkan pelaku pelanggaran HAM berat tersebut kepada International Criminal Court (ICC), maka setiap orang yang dimaksud dengan ketentuan dalam UUD 1945 tidak serta-merta menjadi dimaknai secara universal.
Pelaksanaan dukungan terhadap upaya ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial tersebut maka tidak serta-merta pula dapat dilakukan dengan membuat suatu peraturan negara yang mengatur juga terhadap negara lain dan warga negara lain, tanpa adanya persetujuan dari negara lain yang bersangkutan. “Maka ketentuan a quo utamanya sepanjang frasa oleh Warga Negara Indonesia yang dimohonkan pengujian oleh para Pemohon tersebut tidak melanggar konstitusi,” jelas Arteria.
Keterangan Presiden Ditunda
Sementara itu, Ahelya Abustam sebagai Jaksa Pengacara Negara Kejaksaan Agung selaku kuasa Presiden menyebutkan pembacaan Keterangan Presiden akan dibacakan oleh Eselon I namun yang bersangkutan berhalangan hadir. Sehingga pembacaan keterangan Presiden dibacakan kemudian. Atas hal ini, Ketua MK Anwar Usman menyatakan sidang berikutnya akan digelar pada Selasa, 6 Desember 2022 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Kuasa Presiden Minta Sidang Uji UU Pengadilan HAM Ditunda
Untuk diketahui, permohonan Nomor 89/PUU-XX/2022 dalam perkara uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) diajukan oleh Marzuki Darusman, Muhammad Busyro Muqoddas, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam sidang perdana yang digelar pada Senin (26/09/2022) di Ruang Sidang Pleno MK, para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara.
Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar.
Mengutip pandangan Juan E. Mendez, ada tanggung jawab dari negara untuk melindungi korban dan masyarakat dalam kejahatan-kejahatan masif dan sistemik terkait dengan hak asasi manusia. Dengan dibatasi oleh Pasal 5, maka sulit bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia. Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.