YOGYAKARTA, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Saldi Isra menjadi pembicara kunci dalam kegiatan Universitas Ahmad Dahlan Law Competition (ADACOM) Nasional 2022, yang diselenggarakan oleh Lentera Law Community Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta pada Sabtu (26/11/2022).
Dalam kegiatan yang mengusung tema “Penguatan Partisipasi Publik yang Bermakna (Meaningfull Participation) dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan”, Saldi mengatakan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak lepas dari sejarah di masa lalu, ketika raja memiliki kewenangan untuk membentuk hukum, menjalankan hukum, sekaligus melakukan eksekusi ketika terjadi pelanggaran hukum.
Dalam sejarah, muncul konsep magna charta adalah bentuk keberatan dari masyarakat ketika raja memberikan beban berupa pajak kepada rakyat. Sebenarnya bukan karena pembebanan pajak, melainkan diputus oleh mereka yang ditunjuk untuk itu, tidak boleh ada pengambilan putusan tanpa keterlibatan orang yang ditunjuk untuk mewakili masyarakat.
“Kemudian kita mengenal ada konsep ada orang yang dipilih untuk mewakili masyarakat, mewakili rakyat, untuk memperjuangkan mengatasnamakan yang disebut representasi rakyat dalam struktur politik negara, dalam konteks ini lembaga yang disebut sebagai lembaga legislatif, adalah institusi yang kita kenalsebagai pemilihan umum sebagai infrastuktur politik untuk mengisi suprastruktur politik,” kata Saldi.
Namun dalam perjalanannya proses itu berkembang menjadi elitis, yakni orang yang sudah dipilih melalui pemilu hubungannya seolah-olah hubungannya terputus dengan orang yang memilihnya usai pemilu dilaksanakan. Banyak buku yang saat ini muncul mengkritik demokrasi elitis, di mana orang-orang yang terpilih namun ketika bekerja tidak lagi menyerap aspirasi yang dulu disampaikan ketika proses kontestasi pemilihan umum.
Oleh karena itu dicari instrumen yang berusaha menyambungkan antara wakil rakyat dengan masyarakat, konsep itu yang kemudian memunculkan partisipasi masyarakat, yang bermakna upaya nyata untuk melibatkan masyarakat terhadap pengambilan keputusan penting, yang secara langsung atau tidak langsung berpengaruh kepada masyarakat. Selain itu, partisipasi masyarakat adalah bagian dari ruang yang disediakan di sebuah negara, untuk mengimbangi kepentingan-kepentingan politik. Jika ruang itu tidak disediakan, menurut Saldi, maka keputusan itu menjadi elitis, dan kelompok-kelompok kuat akan menjadi dominan dalam pembuatan kebijakan.
Kalau ruang untuk parsitisipasi itu tidak ada, sangat mungkin semua Undang-Undang yang dirumuskan tidak akan memikirkan implikasi apa yang akan terjadi kepada masyarakat. Bagi orang hukum, konsep itu tidak cukup dijadikan konsep politik tanpa dasar hukum yang eksplisit. Oleh karena itu, ada upaya membentuk aturan secara tertulis, agar ada alasan hukum yang kuat bagi masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan mereka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Partisipasi tersebut tidak hanya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, berdasar penelitian ahli, ada partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan konstitusi di Thailand, kemudian pengalaman perubahan konstitusi di Filipina, Afrika Selatan, Korea. Bahkan pengalaman di Indonesia, yang menjadi praktik partisipasi publik paling masif dalam perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Karena desakan masyarakat yang masif, maka jika semula masyarakat menginginkan perubahan terhadap DPR, akhirnya meluas kepada perbaikan sistem ketatanegaraan. Dalam perjalanan, partisipasi publik seolah-olah didorong hanya pada pembentukan Undang-Undang (UU) saja, padahal partisipasi itu bisa juga dilakukan dalam peraturan perundang-undangan di bawah UU.
“Partisipasi masyarakat ini sebetulnya adalah proses tawar-menawar antara masyarakat dengan pembentuk UU, maka partisipasi itu harus diberikan ruang yang layak. Namun demikian, tidak semua tuntutan masyarakat dapat dipenuhi dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Masyarakat harus sadar apa yang diminta tidak seratus persen bisa dikabulkan, karena ini titik pertemuan banyak soal yang harus dipertimbangkan, kepentingan masyarakatnya begini, kepentingan pembentuk hukumnya begini, dan di situlah proses dapat dilaksanakan,” kata Saldi.
Uji Formil
Berikutnya Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia Ni’matul Huda, dalam paparannya menjelaskan dalam konteks kekinian di Indonesia, demokrasi telah mati, ditunjukkan dengan banyaknya uji formil di MK yang menandakan proses pembentukan UU tidak ada lagi ruang partisipasi bagi masyarakat.
“Dapat dilihat bagaimana putusan MK mendorong adanya partisipasi publik dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, dan bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi jika durasi pembentukan perundang-undangan sempit,” ujar Ni’matul.
Ni’matul melihat hukum-hukum saat ini tidak berpihak kepada masyarakat. Selain itu, ruang publik untuk mengkritisi ditutup melalui UU Cipta Kerja. Putusan MK terhadap pengujian UU Ciptaker telah menegaskan partisipas masyarakat terhadap proses pembentukan peraturan Perundang-Undangan.
Lebih lanjut, Ni’matul berpandangan proses pembentukan hukum tidak boleh dilakukan di ruang yang tertutup, agar hukum tidak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan tertentu,baik itu politik, ekonomi, untung-rugi, dan lainnya.
Partisipasi Masyarakat
Pembicara berikutnya Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang DPR RI Lidya Suryani Widayati, dalam paparannya menjelaskan dalam praktiknya partisipasi masyarakat masih bersifat formalitas, bahkan terbatas, sehingga isi RUU lebih substantif untuk menjawab kebutuhan masyarakat. MK dalam putusannya sudah menyatakan partisipasi masyarakat yang maksimal terutama bagi kelompok masyarakat yang terdampak langsung, atau perhatian terhadap isu-isu yang dibahas dalam RUU tersebut.
Lidya melihat putusan MK dalam Pengujian UU Ciptaker pada dasarnya bertujuan untuk memunculkan kecerdasan kolektif yang kuat, serta lembaga legislatif yang inklusif. Partisipasi masyarakat apabila dipenuhi akan menciptakan Undang-Undang yang legitimatif.(*)
Penulis: Ilham M.
Editor: Lulu Anjarsari P.