Jangan sampai sebuah peraturan (perundang-undangan) melulu memakai bahasa yang kaku.
Rabu malam (2/4). Jam menunjukkan pukul 11:00. Segelas air putih dan sekotak snack terasa kurang cukup. Pramusaji mengeluarkan wedang hangat. Sebagai pengusir kantuk. Namun rasa penat begitu berat dilepas. Pemimpin forum Theo L Sambuaga dari Fraksi Golkar merehat rapat untuk dua menit. Di samping Theo, terdiam Ketua Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (RUU KIP), Arif Mudatsir Mandan dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Masing-masing peserta rapat punya cara tersendiri untuk mengurai suntuk. Ali Mochtar Ngabalin dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi sesekali menengok (hanya) tiga orang jurnalis sambil melempar senyum. Surban yang setia menutupi rambut cepaknya sesekali dia lepas. Lantas dia usil terhadap teman sebelahnya, Dedi Djamaluddin Malik dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Effendy Choirie asal Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa cuek ngobrol dengan kolega sebelahnya. Joko Susilo, yang satu fraksi dengan Dedi, ambil air ke toilet âbuat wudu.
Sebaliknya, kubu pemerintah, terlihat konsisten sepaneng. Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh serius bicara dengan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta, yang duduk di sebelah kirinya. Persis sebelah kiri Andi, Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Prof. Ahmad M Ramli menyimak percakapan dua menteri itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Theo mencabut masa skors. Momen segera disergap oleh Andi. âSaya usul, bunyi Pasal 65 ayat (2) adalah âPenyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana, serta hal-hal lainnya yang terkait dengan persiapan pelaksanaan Undang-Undang ini harus rampung paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini diundangkanâ,â tutur Pak Menteri yang mantan anggota Komisi III DPR ini âbidang hukum dan HAM.
âRampung? Apakah rampung adalah bahasa Indonesia?â tanya Theo.
âAda dalam kamus, Pak. Artinya beres, selesai, tuntas, usai,â jawab staf ahli bahasa hukum dengan merujuk sebuah kamus.
âBagaimana Saudara-Saudara? Setuju?â sambut Theo.
Bagai koor, para peserta sidang pun sepakat. âSetujuâ¦â
Tok. Theo mengetuk palu. Kebuntuan pun terurai sudah. Lantas salah satu anggota dewan mengingatkan. Bunyi Pasal 63 dan 64 agak mirip. âSupaya tidak terjadi redundance kita coret saja Pasal 63,â ujar Theo mengambil keputusan. Jadilah, UU KIP yang awalnya terdiri dari 13 bab dan 65 pasal, berkurang satu pasal. Semua peserta rapat kali ini merasa sempurna sudah materi jabang bayi ini. Waktu tak terasa sudah merambat pada pukul dua belas tengah malam.
Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik
Pasal 62
Peraturan Pemerintah sudah harus ditetapkan sejak diberlakukannya Undang-Undang ini.
Pasal 63 (Pasal 64 pada draf final Panja)
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan informasi yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 64 (Pasal 65 pada draf final Panja)
(1) Undang-Undang ini mulai berlaku dua tahun sejak tanggal diundangkan.
(2) Penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana, serta hal-hal lainnya yang terkait dengan persiapan pelaksanaan Undang-Undang ini harus rampung paling lambat dua tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(Bunyi awal ayat (2): Pembentukan Komisi Informasi, penyusunan dan penetapan Peraturan Pemerintah, petunjuk teknis, sosialisasi, sarana dan prasarana, serta hal-hal lainnya yang terkait dengan persiapan pelaksanaan Undang-Undang ini dilaksanakan sejak Undang-Undang ini diundangkan.)
Pasal 63 draf final Panja yang dihapus
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang berkaitan dengan hak warga negara untuk memperoleh informasi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. |
Kala itu mereka sedang menggodok RUU KIP itu yang âhampir matangâ. Ini rapat kerja yang terakhir, sebelum dilempar pengesahannya ke Sidang Paripurna, Kamis (3/4). Meski jelang detik finis, ada saja hal krusial yang alot jadi perdebatan. Kali ini soal keterterapan jabang bayi UU ini. âKita memang menginginkan UU ini punya workability,â seloroh Nuh.
Yang pertama kali melempar polemik atas pasal tersebut adalah Joko Susilo. âKita sudah terlalu sering melihat UU selama bertahun-tahun tak kunjung ada PP pelaksananya. UU Sistem Pendidikan Nasional malah belum punya satu pun PP,â teriak Joko. Makanya Joko ngotot, meski UU KIP mulai berlaku dua tahun kemudian, sudah ada jaminan bahwa pranata pelaksananya sudah siap diterapkan. Termasuk, sejumlah PP itu.
Setidaknya ada dua PP yang diminta oleh UU KIP. Pertama, PP tentang jangka waktu pengecualian informasi publik (Pasal 20 ayat 2). Kedua, PP soal tata cara pembayaran ganti rugi oleh badan publik negara (Pasal 61).
Suryama Sastra dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera pun tak dapat menyembunyikan rasa gembira lantaran UU ini ahirnya jadi juga. âIni produk andalan Komisi I. Sebelumnya ada UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tapi hasil Panitia Khusus yang terdiri dari berbagai komisi,â ujarnya seusai rapat dengan bersemangat, meski menahan lelah. âKemarin saya baru sampai rumah pukul setengah tiga dini hari. Dan paginya langsung ditelepon Pak Theo untuk persiapan rapat ini,â sambungnya.
Kata ârampungâ acapkali digunakan oleh orang Jawa. Artinya, yah itu tadi: tuntas, beres, selesai. Namun, yang jelas, baik Andi si pengusul, maupun Theo si pemimpin sidang bukanlah asal Jawa. Andi dari Bone dan Theo asal Manado. Hmmm⦠ada baiknya para pembuat peraturan perundang-undangan memakai bahasa yang luwes yah? (Ycb)
Sumber: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18927&cl=Jeda
Foto: http://www.ranesi.nl/images/assets/11676735