JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan terhadap uji materiil Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) terhadap UUD 1945 tidak dapat diterima. Hal tersebut dinyatakan dalam Sidang Pengucapan Putusan MK pada Rabu (23/11/2022) yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman bersama dengan delapan hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 102/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh lima orang perangkat desa, yaitu Hendra Juanda, Wibowo Nugroho, Yuliana Efendi, Fredi Supriadi, dan Utep Ruspendi ini dinilai Mahkamah tidak jelas. Sebab, pada Pertimbangan Hukum Mahkamah yang dibacakan Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan dari semua pasal atau norma UU 6/2004 yang diuji konstitusionalitasnya, para Pemohon tidak menguraikan secara jelas pertentangan setiap norma tersebut dengan UUD 1945. Bahkan, sebagian besar pasal atau norma yang diuji konstitusionalitasnya hanya ditulis redaksional isi tanpa disertai uraian apapun mengenai isi pasal tersebut.
“Terlebih lagi, para Pemohon tidak menguraikan sama sekali pertentangannya dengan UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian. Hal demikian mengakibatkan Mahkamah tidak dapat mengetahui dengan pasti pertentangan semua pasal atau norma yang diuji dengan UUD 1945,” ucap Saldi.
Tidak Sesuai PMK
Selain itu, Saldi menyebutkan terdapat pula ketidaksesuaian antara posita (duduk perkara) dengan petitum. Hal ini menurut Mahkamah, berawal dari uraian pada bagian posita yang tidak menjabarkan secara jelas pertentangan setiap norma atau pasal tersebut dengan UUD 1945, sehingga hal yang diinginkan oleh para Pemohon dalam petitum pun menjadi tidak jelas. Salah satu bukti ketidakjelasan tersebut terdapat pada Petitum Nomor 2, yang meminta agar Mahkamah menyatakan, “Bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945”. Namun atas hal ini, para Pemohon tidak menyatakan secara spesifik norma atau pasal dan/atau ayat yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18 dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Berikutnya pada permohonan ini, Saldi juga mengatakan bahwa para Pemohon menggunakan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 128/PUU-XIII/2015 sebagai dasar pengujian. Menurut Mahkamah, kedua hal tersebut tidak tepat digunakan sebagai dasar pengujian pasal atau norma undang-undang. Ditambah pula, secara umum penyusunan permohonan khususnya uraian pada posita dan petitumyang dilakukan oleh para Pemohon tidak sesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. “Beberapa hal tersebut mengakibatkan Mahkamah tidak dapat memahami apa sesungguhnya yang dimohonkan para Pemohon, dan karenanya Mahkamah menilai permohonan para Pemohon tidak jelas atau obscuur libel,” sebut Saldi.
Baca juga:
Status Tidak Jelas, Perangkat Desa Uji UU Desa
Perangkat Desa Perbaiki Permohonan Uji UU Desa
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 102/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa) diajukan oleh lima orang perangkat desa yaitu Hendra Juanda, Wibowo Nugroho, Yuliana Efendi, Fredi Supriadi, dan Utep Ruspendi. Para Pemohon mengujikan Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU Desa. Para Pemohon dalam sidang perdana yang digelar di MK, Kamis (27/10/2022) mengatakan UU Desa tidak berdampak pada kesejahteraan hidup para perangkat desa. Sebaliknya, para perangkat desa justru dirugikan dengan berlakunya UU Desa.
Dalam permohonannya, para Pemohon menyebutkan kebijakan politik desa melalui UU Desa merugikan para Pemohon dan warga desa seluruh Indonesia. Perangkat desa sangat dirugikan karena diberi tugas oleh negara untuk melaksanakan undang-undang, tapi tidak diangkat sebagai ASN. Rakyat desa sangat dirugikan karena tidak diurus oleh satuan pemerintahan formal sebagaimana warga kota. Akibatnya warga desa hanya dilayani oleh organisasi pemerintah semu dengan perangkat desa yang tidak kompeten dan profesional karena mereka bukan aparatur sipil negara (ASN) yang direkrut, dikembangkan, diberi jabatan karir, digaji, dan pensiun sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Selain itu, warga desa didiskriminasi oleh negara karena dibedakan dengan warga kota. Warga kota diurus oleh satuan birokrasi negara formal, yaitu kelurahan dengan perangkat kelurahan yang kompeten dan profesional karena mereka adalah ASN. Warga desa juga tidak mendapatkan barang publik dan/atau jasa publik dari satuan pemerintahan formal modern, tapi hanya mendapatkan pelayanan dari organisasi pemerintah semu warisan penjajah Jepang dengan nomenklatur pemerintah desa. Akibatnya warga desa tidak menerima barang publik dan/atau jasa publik dasar yang dibutuhkan yaitu pendidikan, perawatan kesehatan, air minum, pengurusan sanitasi, transportasi publik desa, pemberian KTP dan KK warga desa, pengurusan anak yatim dan anak terlantar, perumahan warga desa, persampahan, pengurusan pertanian (persawahan, perkebunan, perikanan, peternakan, pernelayanan), pengurusan irigasi tersier, penyediaan sarana produksi pertanian (bibit, pupuk, obat-obatan, alat pertanian), penyediaan sarana-prasarana ekonomi rakyat desa, penyediaan keuangan mikro petani dan nelayan, penataan lingkungan desa, dan utilitas desa. Oleh karena itu dalam petitum para Pemohon meminta MK agar menyatakan Pasal 1 sampai dengan Pasal 95 UU Desa bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim