JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak dapat menerima permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (UU Sumbar). Demikian bunyi amar Putusan Nomor 97/PUU-XX/2022 yang dibacakan dalam persidangan di MK pada Rabu (23/11//2022). Permohonan ini diajukan oleh Dedi Juliasman (Pemohon I), Wahyu Setiadi (Pemohon II), Dicky Christopher (Pemohon III), dan Basilius Naijiu (Pemohon IV).
Pertimbangan hukum Mahkamah yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyebutkan para Pemohon menilai Pasal 5 huruf c UU Sumbar bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945. Namun para Pemohon tidak dapat menguraikan potensi anggapan kerugian hak konstitusional yang dialami dengan berlakunya norma yang dimohonkan pengujiannya. Terlebih lagi, sambung Enny, para Pemohon dalam menjelaskan anggapan kerugian hak konstitusional mengatasnamakan kepentingan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-XIX/2021, yang dapat mengajukan permohonan pengujian atas nama kepentingan pemerintahan daerah, adalah Pemerintahan Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai, di antaranya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Bupati Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Selain itu, negara pun mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Oleh karenanya, masyarakat hukum adat berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK dapat mengajukan diri sebagai Pemohon sepanjang berkenaan dengan kepentingan masyarakat hukum adat dan kesatuan masyarakat hukum adat tersebut masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan yang diatur dalam undang-undang.
Sehubungan dengan permohonan ini, Mahkamah tidak menemukan bukti para Pemohon merupakan kesatuan masyarakat hukum adat, melainkan hanya perorangan warga negara Indonesia yang concern terhadap adat-istiadat, pengelolaan dan pelestarian budaya yang menjadi ciri khas Mentawai.
“Oleh karena itu, terlepas dari terbukti atau tidaknya inkonstitusionalitas norma yang dimohonkan pengujian, menurut Mahkamah, para Pemohon bukanlah pihak yang relevan untuk mempersoalkan adanya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya norma Pasal 5 huruf c UU Sumbar. Dengan demikian, Mahkamah berpendapat para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini,” sebut Enny menjabarkan pertimbangan hukum Mahkamah.
Baca juga:
UU Sumbar Dinilai Tak Merepresentasikan Kearifan Lokal Masyarakat Mentawai
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyebutkan karakteristik adat dan budaya masyarakat Kabupaten Mentawai yang khas, tidak terakomodir secara bersama-sama dengan 11 Kabupaten lainnya yang termasuk dalam wilayah Sumatera Barat yang sarat akan nuansa syariat Islam pada Pasal 5 huruf c UU Sumbar. Bahwa nilai falsafah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” yang dianut masyarakat beretnis Minangkabau yang tertuang pada norma tersebut, tidak berlaku mutlak dan tidak pula menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Mentawai. Padahal pada wilayah Sumatera Barat terdapat dua etnis yang mendiami wilayahnya dengan karakteristik yang berbeda. Masyarakat Mentawai memiliki karakteristik berupa penduduk yang memilih agama Kristen dan Katolik, penggunaan bahasa Mentawai sebagai bahasa sehari-hari, memiliki kekerabatan garis keturunan patrilineal.
Hegemoni budaya Minangkabau terhadap budaya Mentawai yang terjadi sejak lama. Salah satunya saat 1970-an dalam penamaan wilayah terkecil di Mentawai yang dikenal dengan istilah ‘laggai’ diganti menjadi ‘nagari’ seperti penamaan pada wilayah Sumatera Barat pada umumnya. Selain itu, beberapa diskriminasi budaya lainnya kerap kali dialami oleh masyarakat Mentawai, seperti stigma tentang perempuan Mentawai, transmigrasi lajang yang diberlakukan ke wilayah Mentawai, dan penggunaan jilbab bagi siswi nonmuslim pada sektor pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga menengah. Sehingga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat tersebut telah tidak mengakomodir dan menegaskan eksistensi adat istiadat Mentawai sebagai ciri khas masyarakat beretnis Mentawai. UU ini hanya mengakomodir karakteristik adat budaya Minangkabau. Padahal di provinsi ini terdapat dua etnis masyarakat yang bukan merupakan pendatang atau perantauan. Kedua etnis ini merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah geografis dan administratif Sumatera Barat sejak dahulu.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.