JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Demikian disampaikan Ketua MK Anwar Usman dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 103/PUU-XX/2022 pada Kamis (23/11/2022). Permohonan ini diajukan seorang advokat, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak.
“Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” tegas Anwar Usman.
Pengaduan Konstitusional
Mahkamah dalam pertimbangannya mengatakan, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XVII/2019 telah menjawab secara komprehensif isu konstitusionalitas yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Mahkamah dalam kedudukannya adalah sebagai penafsir konstitusi (interpreter of the constitution) dan sekaligus pelindung hak-hak konstitusional (guardian of constitutional rights) memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
“Namun demikian, Mahkamah pun menyadari, pengaduan konstitusional merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak konstitusional warga negara. Dalam hal ini, pengaduan konstitusional merupakan suatu wadah bagi warga negara yang merasa hak konstitusionalnya atau hak yang diberikan oleh konstitusi dilanggar atau diabaikan dalam penyelenggaraan negara. Sekalipun menyadari arti penting pengaduan konstitusional, politik hukum ketentuan judicial review di Indonesia pada dasarnya menganut dua lembaga secara terpisah yang berwenang menilai atau menguji peraturan perundang-undangan,” ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum.
Dalam hal ini, Saldi melanjutkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sementara itu, sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Ihwal pengaduan konstitusional sama sekali tidak diatur dalam UUD 1945. Meskipun dalam praktik, sejumlah fakta menunjukkan, beberapa perkara pengujian undang-undang yang diajukan ke Mahkamah, secara substansi merupakan pengaduan konstitusional. Namun dikarenakan UUD 1945 dan UU MK termasuk sejumlah undang-undang dalam rumpun kekuasaan kehakiman tidak mengatur perihal kewenangan untuk menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional, 46 Mahkamah menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa permohonan-permohonan dimaksud.
“Dengan telah adanya sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang pada pokoknya telah berpendirian bahwa Mahkamah tidak berwenang untuk memeriksa permohonan pengaduan konstitusional, di satu sisi telah menyebabkan kekosongan hukum untuk memenuhi dan sekaligus menjawab kebutuhan dimaksud. Sementara di sisi lain, sambung Saldi, kebutuhan menyelesaikan perkara pengaduan konstitusional adalah sebuah keniscayaan dalam melindungi hak-hak konstitusional warga dan sekaligus sebagai salah satu wujud nyata pemenuhan prinsip negara hukum. Keniscayaan demikian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dan sekaligus amanah dari norma Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Oleh karena itu, diperlukan dasar hukum yang jelas dan tegas berkenaan dengan pengaduan konstitusional dimaksud.
“Jikalau dibaca secara keseluruhan substansi permohonan perihal norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK, Pemohon menghendaki agar norma a quo juga dimaknai termaktub pengaduan konstitusional di dalamnya. Dalam batas penalaran yang wajar, jika dimaknai sebagaimana yang dikehendaki Pemohon tersebut, maka Mahkamah secara langsung akan menambah kewenangan Mahkamah. Berkenaan dengan hal tersebut, untuk saat ini Mahkamah berpendirian, menjadi lebih baik jika kewenangan pengaduan konstitusional dimaksud ditambahkan oleh pembentuk undang-undang dengan cara merevisi UU MK. Pilihan demikian menjadi masuk akal karena pengaduan konstitusional tidak hanya sekadar menambahkan kewenangan tetapi harus dipertimbangkan secara lebih komprehensif kemungkinan-kemungkinan konsekuensinya dalam desain besar penegakan hukum dan kekuasaan kehakiman. Pertimbangan demikian lebih mungkin dilakukan oleh pembentuk undang-undang dengan melibatkan partisipasi berbagai pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap kekuasaan kehakiman,”terangnya.
Sehingga, berdasarkan pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah dalil Pemohon mengenai norma Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK yang pada intinya menghendaki wewenang Mahkamah untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 termasuk dimaknai pengaduan konstitusional adalah tidak beralasan menurut hukum.
Periodisasi Masa Jabatan Hakim Konstitusi
Mengenai adanya periodisasi masa jabatan hakim, MK dalam pertimbangan hukumnya menjelaskan, politik hukum pembentuk UU MK [Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UndangUndang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 7/2020)] dari masa jabatan hakim yang mengenal periodisasi menjadi non-periodisasi jabatan hakim adalah sesuatu yang konstitusional. Politik hukum yang demikian sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada 19 Juli 2017, yang antara lain menyatakan independensi dan/atau kemerdekaan kekuasaan kehakiman antara lain ditentukan oleh proses seleksi (the manner of the appointment or the mode of appointing judges) dan masa jabatan (term of office or the tenure judges). Oleh karena itu, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIV/2016 ditegaskan lebih jauh bahwa masa jabatan (tenure of office) Hakim Konstitusi sebaiknya hanya satu periode dengan tenggat waktu lebih lama.
Sebagaimana maksud dan substansi dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUUXIV/2016, sebagai bagian dari upaya mewujudkan kemandirian kekuasaan kehakiman, in casu Mahkamah Konstitusi, pembentuk UU MK menghapus rezim periodisasi, yaitu masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya satu kali masa jabatan berikutnya.
Konfirmasi Kepada Lembaga Pengusul
Menurut MK, dengan hapusnya rezim periodisasi yang pemberlakuannya terhadap hakim yang diangkat berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU 24/2003) dijembatani oleh norma Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang telah dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD 1945 atau konstitusional, Mahkamah merasa perlu memberitahukan berupa konfirmasi kepada masing-masing lembaga pengusul. Dalam hal ini Mahkamah menyatakan: Tindakan hukum demikian berupa konfirmasi oleh Mahkamah kepada lembaga yang mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat.
Konfirmasi yang dimaksud mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung); Kemudian, beberapa waktu setelah pengucapan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, Mahkamah mengirim surat kepada lembaga pengusul (yaitu DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung), dengan perihal “Pemberitahuan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020”, tertanggal 21 Juli 2022. Dalam surat Pemberitahuan dimaksud, sesuai dengan amar dan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUUXVIII/2020, mengharuskan Mahkamah untuk melaksanakan tindakan hukum berupa konfirmasi kepada lembaga yang mengusulkan dan mengajukan hakim konstitusi yang saat ini sedang menjabat. Konfirmasi dimaksud hanya mengandung arti bahwa hakim konstitusi melalui Mahkamah Konstitusi menyampaikan pemberitahuan ihwal melanjutkan masa jabatannya yang tidak lagi mengenal adanya periodisasi kepada masing-masing lembaga pengusul (DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung).
Selain itu, untuk menghindari perdebatan dan kemungkinan adanya kekeliruan dalam memaknai perihal berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi sesuai dengan ketentuan Pasal 87 huruf b UU MK, dalam Surat Pemberitahuan dimaksud Mahkamah memberitahukan masa jabatan masing-masing hakim konstitusi berdasarkan UU 24/2003 serta perubahan dan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi setelah tidak adanya periodisasi berdasarkan UU MK.
Sekalipun Mahkamah telah menjelaskan dan menegaskan berakhirnya masa jabatan masing-masing hakim konstitusi dimaksud, hal demikian tidak berarti hakim konstitusi tidak dapat diberhentikan sebelum berakhirnya masa jabatan, yaitu sebelum mencapai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau sebelum selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Dalam hal ini pemberhentian hakim konstitusi dalam masa jabatannya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan UU MK. Selain itu, sebagaimana diatur dalam UU MK, mulai dari UU 24/2003 sampai dengan UU 7/2020, pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan keputusan presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi.
Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan yaitu mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK. Seandainya terjadi alasan pemberhentian dalam masa jabatan tersebut, pemberhentian oleh Presiden baru dilakukan setelah adanya surat permintaan dari Ketua Mahkamah Konstitusi.
Penegasan demikian perlu dinyatakan secara tegas karena proses penggantian hakim konstitusi oleh lembaga pengusul baru ditindaklanjuti setelah adanya keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan. Dalam batas penalaran yang wajar, adanya pengaturan yang jelas dan tegas mengenai kemungkinan memberhentikan seorang hakim konstitusi sebelum habis masa jabatan dimaksudkan untuk menjaga independensi dan sekaligus menjaga kemandirian serta kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Artinya, tindakan yang dilakukan di luar ketentuan norma Pasal 23 UU MK adalah tidak sejalan dengan UUD 1945.
Hal demikian, selain potensial merusak dan menganggu independensi hakim konstitusi, tindakan di luar ketentuan tersebut juga merusak independensi atau kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai benteng utama negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Dengan dalil Pemohon, pertimbangan hukum tersebut di atas telah cukup untuk menjelaskan dan menegaskan keberadaan norma Pasal 87 huruf b UU MK dikaitkan dengan pertimbangan hukum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020. Pertimbangan hukum dimaksud, sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan lainnya, memiliki kekuatan mengikat sehingga Hakim Konstitusi yang sedang menjabat hanya dapat diberhentikan sebelum berakhir masa jabatannya sepanjang sesuai dengan norma dalam Pasal 23 UU MK. Dengan demikian, norma Pasal 87 huruf b UU MK tidak perlu dan tidak relevan dimaknai sebagaimana yang dimohonkan Pemohon. Selain telah ditegaskan dan dipertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020, memberikan penegasan langsung ke dalam norma Pasal 87 huruf b UU MK, sebagaimana yang dimohonkan oleh Pemohon, dapat menggeser makna norma a quo sebagai norma peralihan yang bersifat einmalig. Oleh karena itu, dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Sehingga, berdasarkan seluruh pertimbangan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, Mahkamah menilai tidak terdapat persoalan konstitusionalitas norma mengenai kepastian hukum yang adil dalam menegakkan kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana dijamin oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 24C ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, Pasal 57 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 87 huruf b UU MK, sehingga dengan demikian permohonan Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum.
Dalam pengucapan putusan ini terdapat tiga hakim konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Hakim Konstitusi Anwar Usman, Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, dan Hakim Konstitusi Suhartoyo berbeda pendapat soal kedudukan hukum Pemohon dalam pengujian norma Pasal 87 huruf b UU MK.
Baca juga:
Seorang Advokat Persoalkan Penggantian Hakim Konstitusi oleh DPR
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.