JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) terhadap UUD NRI 1945 pada Senin (21/11/2022). Permohonan Nomor 109/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Muh. Ibnu Hajar Rahim yang berprofesi sebagai dosen pada Universitas Presiden yang juga pakar hukum pidana. Pada sidang ini, Pemohon mendalilkan Pasal 10 ayat (1) UU PSK dan Penjelasannya, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI 1945.
Pasal 10 ayat (1) UU PSK berbunyi, “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.” Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PSK berbunyi, “Yang dimaksud dengan “memberikan kesaksian tidak dengan iktikad baik” antara lain memberikan keterangan palsu, sumpah palsu, dan permufakatan jahat.”
Menurut Pemohon, norma tersebut tidak pasti, tidak adil, dan diskriminatif karena hanya memberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata kepada saksi, korban, saksi pelaku dan/atau pelapor yang memberikan kesaksian atau laporan. Namun tidak memberikan perlindungan hukum untuk tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata kepada seorang ahli yang memberikan keterangan dalam perkara pidana. Sebab, sewaktu-waktu dapat saja dituntut atas keterangan sebagai ahli pada tingkat penyidikan.
Keterangan Ahli
Salah satu alat bukti yang dapat digunakan dalam proses pembuktian di persidangan yakni keterangan ahli. Dalam konteks hukum, keterangan ahli berupa keterangan dari seseorang yang memiliki keahlian khusus terhadap suatu hal yang sedang disengketakan atau diperkarakan guna membuat terang suatu peristiwa hukum. Dalam perkara pidana, keterangan ahli memiliki kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya sebagaimana dimaksudkan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. Maka, keterangan ahli menjadi alat bukti yang berdiri sendiri yang apabila ditambahkan satu alat bukti sah lainnya telah memenuhi bewijs atau minimum pembuktian sehingga dapat meyakinkan hakim, suatu tidak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana.
“Seharusnya setiap orang memahami keterangan ahli memiliki kedudukan sebagai alat bukti yang sama dengan alat bukti lainnya. Hakim sama sekali tidak terikat dengan keterangan yang diberikan oleh ahli. Namun dalam berbagai gugatan perbuatan melawan hukum yang ditunjukkan pada para ahli memiliki berbagai implikasi. Seharusnya seorang ahli yang memberikan keterangan itu dihormati, diapresiasi, dan dilindungi. Karena ia telah mampu membantu penegak hukum dalam membuat terang suatu perkara sesuai keahliannya. Jadi dalam UU ini tidak ada jaminan bagi ahli yang memberikan keterangan saat bersidang dalam perkara tindak pidana,” jelas Ibnu dalam Sidang Panel yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul dan Enny Nurbaningsih.
Kedudukan Hukum Pemohon
Terhadap permohonan ini, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam nasihat hakim memberikan saran perbaikan berupa identitas Pemohon yang sebaiknya dibuat secara sederhana. Kemudian pada poin kewenangan Mahkamah dibuat dengan menyertakan UUD 1945 yang memberikan kewenangan Mahkamah, UU Kekuasaan Kehakiman, UU MK terbaru serta UU P3 atas pengujian perkara ini.
Berikutnya Enny mengulas tentang legal standing Pemohon yang belum mengelaborasi syarat terlanggarnya hak-hak konstitusi Pemohon atas berlakunya norma yang diujikan. Begitu pula soal hubungan sebab-akibat yang dialami Pemohon dengan berlakunya norma yang diujikan.
“Ini harus diuraikan semua dan perlu ditambahkan agar kualifikasi Pemohon terlihat dalam perkara ini dirugikan atas berlakunya norma ini. Intinya Pemohon ingin menyisipkan keterangan ahli yang menjadi pemberi keterangan dalam suatu sidang pidana. Jadi, dibuat dan dikuatkan dengan beberapa hal yang membuat perlindungan terhadap ahli belum termuat dan perhatikan norma yang ada sebelum dan sesudah pasal ini karena biasanya saling terkait,” terang Enny.
Sementara Hakim Konstituti Manahan MP Sitompul dalam nasihatnya memberikan catatan tentang kedudukan hukum yang harus diperbaiki. Sebab, pada Pemohon dalam permohonannya mendalilkan WNI yang berprofesi sebagai dosen sehingga ada kewajiban untuk melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Sehingga atas hal ini kerugian Pemohon akan bersifat spesifik atau khusus. Oleh karenanya, perlu penjelasan lebih dalam lagi atas kedudukan hukum Pemohon yang sering memberikan keterangan dalam persidangan menyoal perkara tindak pidana. “Berikutnya dalam posita, belum dapat pula mempertentangkan antara norma pokok dan penjelasannya agar terlihat inkonstitusional norma yang dikandungnya dengan UUD 1945,” jelas Manahan.
Berikutnya Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh menambahkan soal perlunya bagi Pemohon untuk memperhatikan dengan saksama tentang ‘ahli’ yang dimaksudkan hanya diatur dalam UU aquo atau terdapat pada norma lain atau pada ayat-ayat berikutnya. Sebab, perlindungan terhadap ahli ini dapat saja nanti berdampak hak imunitas maka perlu elaborasi teori asas dan perbandingan di negara lain. “Mengapa ahli perlu dilindungi? Jika ada kekhawatiran dari Pemohon yang juga menjadi Ahli dalam persidangan, maka bisa coba lihat di negara lain, mungkin ada ketentuan terhadap hal ini,” sampai Daniel.
Sebelum menutup persidangan, Daniel menyebutkan Pemohon diberikan waktu selama 14 hari ke depan untuk menyempurnakan permohonan. Selambat-lambatnya Pemohon dapat menyerahkan naskah perbaikan pada Senin, 5 Desember 2022 pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Untuk sidang selanjutnya akan ditentukan kemudian oleh Mahkamah dan diinformasikan pada Pemohon.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.