JAKARTA, HUMAS MKRI – Sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kembali digelar di Mahkamah Konstitusi pada Senin (21/11/2022) secara daring. Permohonan perkara Nomor 104/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Sandi Ebenezer Situngkir.
Sedianya, agenda sidang yaitu pemeriksaan perbaikan permohonan. Namun, Pemohon tidak hadir dan tidak menyampaikan perbaikan permohonan. Hal ini terungkap saat Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih selaku pemimpin sidang menanyakan ihwal kehadiran Pemohon.
“Sidang Perkara Nomor 104/PUU-XX/2022 agendanya pada hari ini adalah perbaikan permohonan. Saya panggil sekali lagi apakah pemohon hadir? Saya panggil sekali lagi, apakah pemohon saudara Sandi Ebenezzeer Situngkir hadir? Sekali lagi untuk ketiga kalinya, apakah saudara Sandi Ebenezzeer Situngkir atas Perkara Nomor 104/PUU-XX/2022 hadir? Ternyata pemohon tidak hadir dan juga tidak menyampaikan perbaikan permohonannya,” kata Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Oleh karena itu, sambung Enny, karena Pemohon tidak hadir dan telah dipanggil secara patut dan sah serta tidak disampaikannya perbaikan dan tanpa alasan yang jelas maka panel hakim akan menyampaikan permohonan yang bersangkutan di dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Baca juga:
Menyoal Ketiadaan Mekanisme “Check and Balances” dalam Tubuh Polri
Untuk diketahui, permohonan Nomor 104/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) diajukan oleh Sandi Ebenezer Situngkir. Adapun materi yang diujikan yaitu Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) UU Kepolisian.
Sandi Ebenezer Situngkir (Pemohon) dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan mengatakan pasal-pasal yang diujikan tersebut tidak memiliki kejelasan tujuan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksudkan dalam UU pembentukan perundang-undangan. “Pada pokoknya terkait dengan Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 itu terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain menurut penafsiran sendiri,” ujar Sandi.
Menurut Sandi, kewenangan Kepolisian dalam UU tersebut tidak bersifat limitatif. Ia mengatakan parameter penafsiran terhadap kewenangan Kepolisian sangat bias.
“Sudah begitu banyak kewenangan yang diberikan UU kepada Kepolisian baik di ruang lingkup tugas, fungsi dan kewenangan. Akan tetapi dalam penentuan tersebut masih ada ketentuan yang sifatnya sangat tidak terukur. Padahal UU itu bersifat limitatif. Limitatif harus jelas tujuan dan kepastian hukumnya,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu Sandi mempersoalkan mengenai kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) hanya memberikan saran dan pendapat kepada presiden. Sehingga, menurut pandangan Pemohon tidak ada fungsi check and balances dalam UU Kepolisian tersebut.
“Meskipun secara internal ada fungsi pengawasan akan tetapi dalam UU Kepolisian tidak ada fungsi Kompolnas terkait dengan apakah dia sebagai lembaga pengawas pada kepolisian atau tidak. Dengan jelas ditentukan dalam UU tersebut dia hanya berwenang memberikan saran kepada presiden terait dengan calon kapolri dan fungsi anggaran di kepolisian. Sehingga pemohon meminta kepada MK untuk melahirkan norma baru apakah menurut MK terkait check and balances itu sangat diperlukan terkait kinerja kepolisian ke depannya,” jelasnya.
Pemohon juga menyebutkan dalam permohonannya bahwa ia mengalami kerugian konstitusional akibat adanya ketentuan Pasal 39 dan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) juncto ayat (3) UU Kepolisian yang membatasi Pemohon sebagai warga negara yang bekerja sebagai advokat untuk menjadi Komisioner Kompolnas. Pengaturan keanggotaan Kompolnas yang terdiri dari 3 (tiga) unsur Pemerintah setingkat menteri yaitu Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri adalah 7 bertentangan dengan fungsi check and balance dimana baik Kapolri maupun Menteri adalah orang yang diangkat oleh Presiden dan berada dalam ruang lingkup kewenangan Presiden, sehingga tidak mungkin melakukan pengawasan terhadap kepolisian.
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.