JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM) pada Senin (21/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang ketiga untuk Perkara Nomor 89/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Marzuki Darusman (Pemohon I), Muhammad Busyro Muqoddas (Pemohon II), dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI/Pemohon III) ini beragendakan mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Namun DPR berhalangan hadir, sedangkan kuasa Presiden meminta penundaan sidang karena belum siap memberikan keterangan.
“Sidang hari ini seharusnya beragendakan mendengar keterangan DPR dan Presiden. Oleh karena laporan dari kepaniteraan MK bahwa DPR tidak hadir dan kuasa Presiden pun meminta penundaan jadwal karena belum siap untuk beri keterangan. Oleh karena itu, sidang tidak bisa dilanjutkan dan ditunda hingga Senin, 28 November 2022 pukul 11.000 WIB dengan agenda yang sama untuk mendengarkan keterangan DPR dan Presiden,” jelas Ketua MK Anwar Usman terhadap permohonan para Pemohon yang mendalilkan Pasal 5 UU Pengadilan HAM yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945.
Baca juga:
Menembus Batas Teritorial Pengadilan HAM
AJI Perbaiki Kedudukan Hukum dalam Uji UU Pengadilan HAM
Sebagaimana sidang pendahuluan lalu, para Pemohon menyebutkan frasa “… oleh warga negara Indonesia” Pasal 5 UU Pengadilan HAM menghapus tanggung jawab negara dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. Selain itu, frasa tersebut juga menghilangkan prinsip tanggung jawab negara di daerah‑daerah yang pelaku kejahatannya melibatkan negara. Myanmar hingga saat ini masih mengalami situasi politik yang tidak pasti akibat pemberlakuan keadaan darurat oleh pihak militer. Tragedi kemanusiaan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) pun terus terjadi di Myanmar. Mengutip pandangan Juan E. Mendez, ada tanggung jawab dari negara untuk melindungi korban dan masyarakat dalam kejahatan-kejahatan masif dan sistemik terkait dengan hak asasi manusia. Dengan dibatasi oleh Pasal 5, maka sulit bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memperjuangkan hak-hak konstitusionalnya. Sebab menurut para Pemohon, Myanmar tidak menjadi bagian dari International Criminal Court karena tidak turut menandatangani Statuta Roma. Sehingga tidak mungkin negara dengan kekuasaan seperti junta militer mendirikan pengadilan HAM untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karena terjadi kekosongan hukum untuk menindaklanjuti pelaku pelanggaran HAM berat di Kawasan Asia tersebut, diperlukan suatu cara untuk melindungi warga negara—tidak saja di Myanmar, tetapi juga di ASEAN secara keseluruhan untuk bisa mengemban hak-hak membela diri secara pribadi. Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya. “Menyatakan frasa “oleh warga Negara Indonesia” yang terdapat pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945”.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Tiara Agustina.