JAKARTA, HUMAS MKRI - Hakim Konstitusi Suhartoyo memberi materi dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) II yang dilaksanakan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PERADI Jakarta Barat bekerja sama dengan Polda Metro Jaya dan Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, pada Jumat (18/11/2022) di Jakarta. Dalam paparan berjudul “Hukum Beracara di Mahkamah Konstitusi” ini, Suhartoyo menegaskan bahwa esensi dari hukum acara yakni hukum yang mengatur tata cara beracara, termasuk di Mahkamah Konstitusi (MK).
Berbicara hukum acara di MK, tidak terlepas dari beberapa kewenangan yang digariskan UUD 1945 pada lembaga peradilan konstitusi ini, yakni menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, memutus pembubaran partai politik yang diajukan oleh pemerintah, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.
Dalam perkembangan pelaksanaan kewenangannya, MK pun berwenang menguji Peraturan Pemerintah Pengganti UU (perpu). Pertimbangannya, perpu menimbulkan norma hukum baru yang kekuatan berlakunya sama dengan undang-undang.
“Perlu diingat, jika levelnya peraturan di bawah undang-undang, maka itu menjadi kewenangan Mahkamah Agung. Sementara MK menguji undang-undang dan/atau perpu yang tidak sejalan dengan UUD 1945, maka itu boleh dan dapat diajukan dan diujikan ke MK,” jelas Suhartoyo di hadapan para aparat Kepolisian yang mengikuti kuliah dengan antusias.
Sehubungan dengan keberadaan hukum beracara di MK, Suhartoyo memberikan penjelasan tentang keberadaan Kepolisian yang dapat saja menjadi kuasa Pemerintah. Misalnya saja dalam pembubaran partai politik yang juga menjadi kewenangan MK. Para aparat kepolisian dapat mewakili Pemerintah dalam hal keterangannya atas ketidaktertiban suatu partai politik yang dinilai melanggar ketentuan konstitusi dan ideologi bangsa.
Berikutnya Suhartoyo membahas secara terperinci mengenai kewenangan MK dalam pengujian undang-undang (PUU) yang menjadi core business lembaga peradilan konstitusi ini. Dalam PUU ini para Pemohon dapat membedakan sifat pengujiannya, yakni formil dan materiil. Kedua hal ini terkait dengan substansinya, yaitu proses dari pembentukan undang-undang yang diujikan dan dapat pula berupa pasal, ayat, frasa yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945. PUU secara formil terdapat batas waktu. Sedangkan pada uji materil tidak terdapat batas waktu, selama norma tersebut dapat dibuktikan melanggar hak konstitusional warga negara, maka pengujian dapat dilakukan ke MK.
Lalu pihak yang dapat mengajukan PUU ke MK, sambung Suhartoyo, di antaranya perseorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum privat, selama termuat kepentingan hukum yang dinilai tidak sejalan dengan konstitusi.
Perlu diketahui, terang Suhartoyo, terdapat karakter khusus beracara di MK yakni kuasa hukum tidak harus seorang advokat, sepanjang yang bersangkutan mengerti tentang perkara hukum dan dapat berkomunikasi dengan baik dengan berbagai pihak. Sebab, dalam sidang di MK pun terdapat tahapan pemberian nasihat oleh hakim sidang atas permohonan yang diajukan oleh pihak pemohon.
“Beracara di MK tidak harus advokat, tetapi kalau di peradilan lain harus advokat. Hakim biasanya menanyakan kartu anggota, sedangkan di MK hal-hal demikian tidak ada. Meskipun yang beracara di MK Sebagian besar adalah para advokat karena mereka dipandang mengetahui hukum acara,” terang Suhartoyo.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.