JAKARTA, HUMAS MKRI – Kasus ginjal akut yang dialami sejumlah anak di Indonesia akibat beredarnya obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG), melatarbelakangi seorang advokat menguji Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan). Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi mencatat Rega Felix sebagai Pemohon Perkara Nomor 106/PUU-XX/2022 yang menguji Pasal 196 UU Kesehatan tersebut. Sidang perdana digelar pada Selasa (16/11/2022) dipimpin oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dengan anggota Majelis Sidang Panel, yakni Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Pasal 196 UU Kesehatan berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memgedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Rega menyebutkan Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan Pasal 28A, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 karena sediaan farmasi yang tersedia di masyarakat ternyata mengakibatkan kematian massal secara meluas sehingga perbuatan mencemari sediaan farmasi demikian sepatutnya dikategorikan sebagai kejahatan. Sebab, kejahatan yang berdampak multidimensional tersebut menyangkut rasa kemanusiaan dan hak asasi manusia yang bersifat non derogable rights sebagaimana termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
“Oleh karenanya, UU seharusnya menjadi alat pencegah dari kejadian yang tidak diinginkan dalam masyarakat, namun pasal a quo hanya memberikan sanksi ringan sehingga pelaku kejahatan terhadap sediaan farmasi tidak takut untuk melakukan perbuatannya, padahal dampak atas perbuatannya sangat masif dan menciderai rasa kemanusiaan,” jelas Rega.
Rasa takut luar biasa di masyarakat telah secara aktual terjadi secara luas. Hal ini mempengaruhi Pemohon dan keluarga sebagai bagian dari masyarakat. Rasa takut ini disebabkan obat-obat esensial yang umum beredar di masyarakat ternyata menjadi penyebab kematian anak-anak. Kejadian ini terlihat dari ditariknya obat-obatan berbentuk sirup dari peredaran, padahal obat-obat tersebut esensial bagi anak-anak. Untuk itu, Pemohon memohon kepada Majelis Hakim untuk menyatakan frasa “dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun (sepuluh) tahun” dalam Pasal 196 UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Nasihat Hakim Panel
Atas permohonan Pemohon ini, Hakim Konstitusi Manahan dalam nasihat majelis sidang panel mengatakan perlu untuk mencantumkan PMK 2/2021 yang merupakan pedoman dalam menguraikan kewenangan Mahkamah dalam menyelesaikan perkara a quo. Berikutnya Pemohon juga diharapkan dapat menyertakan pada bagian kedudukan hukumnya kerugian konstitusional yang bersifat spesifik dan khusus dibandingkan dengan warga negara lain sehingga perlu mendapat perhatian lebih utama.
“Harusnya bisa dijelaskan apa yang menjadi spesifik dari ketrugiabn Pemohon sehingga terlihat kerugian konstitusional Pemohon. Dan mengenai ancaman hukuman yang diinginkan Pemohon atas ancaman pidana ini perlu diperhatikan karena tidak dapat begitu saja ditentukan tanpa adanya penelitian lebih lanjut,” jelas Manahan.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel memberikan catatan tentang pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan batu uji yang harus dielaborasi lebih jauh dengan norma yang diujikan. Selain itu, Daniel juga meminta agar Pemohon mempelajari lebih lanjut aturan pidana, mulai dari aspek-aspek pidana hingga pelaksaaannya yang menghendaki adanya penambahan lama pemidanaan atas suatu kejahatan yang bersifat kemanusiaan.
“Dalam Statuta Roma, ada beberapa kategori termasuk genosida dan kejahatan kemanusiaan yab juga disadur oleh hukum Indonesia. Maka, buatkan bangunan teorinya dari UU negara lain yang memperlihatkan aspek-aspek ini sehingga MK dapat mempedomaninya dengan lebih hati-hati dalam mencermati perkara ini,” saran Daniel.
Berikutnya Hakim Konstitusi Enny memberikan nasihat mengenai ketentuan pidana, diharapkan memestikan putusan MK terkait dengan kebijakan kriminal yang dapat dijadikan perenungan dalam penentuan petitium. Kemudian Pemohon diharapkan juga dapat menyampaikan kerugian konstitusional yang ditimbulkan dari keberlakukan norma yang diujikan. Hal ini penting sebagai gerbang utama untuk masuk pada penyelesaian perkara ini hingga masuk pad apokok permohonan.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Enny mengatakan naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan Pemohon pada Selasa, 29 November 2022 pukul 11.00 WIB ke kepaniteraan MK. Sementara untuk jadwal sidang berikutnya, Kepaniteraan MK akan menginformasikan lebih lanjut pada Pemohon. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina