JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang kelima dari pengujian Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) pada Selasa (15/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Lima pekerja rumahan yang terdiri dari Muhayati (Pemohon I), Een Sunarsih (Pemohon II), Dewiyah (Pemohon III) yang tinggal di Jakarta dan Kurniyah (Pemohon IV), Sumini (Pemohon V) yang tinggal di Cirebon menghadirkan dua orang saksi. Dua orang saksi tersebut, yakni Andriko Sugianto Otang dari Trade Union Rights Centre (TURC) dan Erika Rosmawati Situmorang dari Bitra Indonesia.
Dalam sidang perkara yang teregistrasi Nomor 75/PUU-XX/2022 yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto dengan didampingi tujuh hakim konstitusi lainnya ini, Andriko menceritakan potret kerentanan yang dialami oleh pekerja rumahan yang telah didampinginya sejak 2013 silam. Menurutnya, pekerja rumahan mengerjakan berbagai macam jenis pekerjaan, seperti menjahit sepatu, memasang payet atau mute, dan membuang benang untuk industri pakaian jadi, dan menganyam rotan untuk industri furnitur. Penggunaan pekerja rumahan ini, lanjutnya, umumnya diperlukan untuk proses produksi pada bagian-bagian tertentu dari produk yang membutuhkan keterampilan tangan manusia secara manual yang tidak bisa dikerjakan dengan mesin. Pekerja rumahan dipilih oleh pengusaha atau pemberi kerja karena biaya produksi yang efisien dan membantu percepatan proses penyelesaian produksi. Namun mayoritas pekerja rumahan tersebut cenderung memiliki penghasilan yang sangat rendah dan bahkan tergolong dalam kelompok masyarakat miskin dan rentan secara ekonomi. Tak jarang pula, para pekerja rumahan tersebut mengalami situasi yang cenderung eksploitatif, semisal jam kerja yang panjang dan mendapatkan pembayaran di bawah upah minimum dalam sistem kerja, sebab dalam hal ini para pekerja tidak memiliki daya tawar dalam hal pekerjaannya tersebut. Hal inilah yang menurut Andriko dalam sistem pasar kerja di Indonesia yang belum tersentuh oleh regulasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Sepanjang saya melakukan pendampingan, pemberi kerja memperkerjakan pekerja rumahan utamanya untuk menghindari tanggung jawab mereka berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan dan pada saat yang sama mengalihkan beberapa risiko dan tanggung jawab yang biasanya dipikul oleh pemberi kerja kepada pekerja rumahan,” ujar Andriko.
Sebagai contoh, sambung Andriko, rumah yang mereka tinggali juga dijadikan lokasi tempat kerja untuk proses produksi sekaligus sebagai gudang bahan baku. Tidak hanya itu, soal aspek alat kerja atau peralatan, umumnya pekerja rumahan harus menyediakan sendiri alat kerja yang dibutuhkan, meskipun dalam praktik ada juga variasi lain, yaitu alat kerja sudah disediakan atau dipinjamkan oleh pemberi kerja. Kemudian dalam aspek biaya-biaya lain dalam komponen produksi seperti listrik, pemeliharaan peralatan, perlengkapan, termasuk biaya yang berkaitan dengan transportasi pengambilan bahan dan produk jadi pada akhirnya juga harus ditanggung oleh pekerja rumahan.
“Pekerja rumahan memperoleh upahnya berdasarkan perhitungan satuan hasil atau kita sebut dengan piece rate. Kesulitan yang dimiliki oleh pekerja rumahan adalah bagaimana mereka bisa mengetahui lebih detil informasi perihal komponen biaya-biaya yang mereka upahkan karena mereka tidak pernah mendapatkan slip gaji dari pembayaran upah yang mereka terima dari si pemberi kerjanya,” cerita Andriko.
Baca juga:
Lima Pekerja Rumahan Uji UU Ketenagakerjaan
Pekerja Rumahan Penguji UU Tenaker Perbaiki Permohonan
Hubungan Kerja Pekerja Rumahan dan Umum Seharusnya Sama
Belum Ada Norma Dasar
Berikutnya Erika Rosmawati Situmorang menceritakan dalam kesaksiannya sebagai pendamping para pekerja rumahan yang tergabung dalam Bitra Indonesia. Dari pengalamannya melihat bahwa pekerja rumahan menerima pekerjaan dari pemberi kerja atau perantara, mendapat perintah, dan menerima upah. Agar pekerja rumahan tersebut mendapatkan perlindungan secara hukum, beberapa pihak telah mengusulkan peraturan daerah melalui dialog dan diskusi dengan DPRD Sumatera Utara serta Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Pada agenda tersebut membahas tentang rencana usulan peraturan daerah tentang penyelenggaraan ketenagakerjaan di Provinsi Sumatera Utara, termasuk pembahasan tentang perlindungan hukum bagi pekerja rumahan.
Dari diskusi tersebut dibentuk Pansus Ranperda Penyelenggaraan Ketenagakerjaan yang melibatkan berbagai pihak terkait pekerja rumahan, di antaranya Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatera Utara dan kabupaten/kota, pekerja rumahan, serikat pekerja/serikat buruh, Apindo, perwakilan perusahaan yang menggunakan pekerja rumahan, dan akademisi. Hasilnya, segera ditetapkan peraturan daerah tentang keberadaan pekerja rumahan di Sumatera Utara yang harus dilindungi hak dan kewajibannya sebagai pekerja.
“Pada 5 Maret 2020 atas kunjungan yang dilakukan ke Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia diperoleh informasi men mengenai pekerja rumahan beum terdapat norma dasar yang mengatur secara nasional mengenai hak dan kewajiban yang melingkupinya. Sehingga, hingga saat ini hanya dinyatakan diperbolehkan untuk mengatur tentang pekerja rumahan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan norma standar prosedur kriteria,” kata Erika.
Pada sidang terdahulu, para Pemohon menyebutkan pihaknya merupakan pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Pada satu kesempatan mereka mendapat perintah kerja dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Pada 2017, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan, tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, sejatinya pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja.
Namun pekerja rumahan justru dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan, karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut Pemohon, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.
Untuk itu, dalam petitum para Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Serta menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim