JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA), Selasa (15/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang perkara Nomor 107/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Karminah, warga Semarang yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Karminah mengujikan Pasal 79 dan Penjelasannya serta Pasal 31 ayat (1) dan Penjelasannya dari UU MA. Majelis Sidang Panel atas permohonan ini terdiri atas Hakim Konstitusi Arief Hidayat bersama Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Pasal 79 ayat (1) UU MA berbunyi, “Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.” Penjelasan Pasal 79 ayat (1) UU MA berbunyi, “Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung berwenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi pengurangan atau kekosongan tadi. Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang menentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.”
Pasal 31 ayat (1) UU MA berbunyi, “Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundangundangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-Undang.” Penjelasan Pasal 31 ayat (1) UU MA berbunyi, “Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh pembentuk Undang-undang. Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula mengatur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya ataupun pembagian beban pembuktian.”
Pho Iwan Salomo selaku kuasa Pemohon menyebutkan Pasal 79 ayat (1) UU MA memberi wewenang yang tidak terbatas kepada MA untuk membuat peraturan sendiri. Seharusnya peraturan MA sebagai diskresi tidak boleh melebihi undang-undang (UU). Namun pada praktiknya pelaksanaan peraturan MA justru melebihi UU. Terkait hal itu, sambung Iwan, Pemohon menarasikan tentang SK Ketua MA RI (SK KMA) Nomor KMA/032/SK/IV/2006 Tanggal 4 April 2006 mengenai penangguhan eksekusi yang melebihi UU.
Dalam kasus konkret Pemohon menyebutkan telah mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Agama Semarang atas Penetapan Eksekusi Pengadilan Agama Semarang Nomor 002/Pdt.Eks/2016/PA.Smg Tanggal 1 September 2016. Pada pelaksanaan yang telah sampai pada tahap sita, eksekusi justru ditunda dengan adanya Penetapan Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang. Atas hal ini, Pemohon menilai penetapan penundaan eksekusi tersebut bersifat sewenang-wenang sehingga tidak sah. Menurut Pemohon, Wakil Ketua Pengadilan Agama Semarang tersebut bukanlah pejabat yang berwenang membuat diskresi.
Untuk itu, pada petitum, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 79 dan Penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai peraturan mengenai Penundaan Eksekusi. Pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 31 ayat (1) UU MA tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai peraturan MA.
Kontestasi dan Implementasi
Hakim Konstitusi Suhartoyo menyarankan Pemohon agar menguraikan kedudukan hukum Pemohon dalam mengajukan perkara ini sebagaimana disebutkan dalam perkara konkret yang dialaminya. Berikutnya, Pemohon juga perlu mencermati putusan MK yang mengujikan pasal yang sama dengan permohonan ini.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan penundaan lelang ini sudah dilakukan berbagai upaya hukum oleh Pemohon, di antaranya ke PTUN, KY, dan sekarang berharap akan mendapatkan keadilan dengan mengajukan perkara pengujian UU MA ke MK melalui pengujian UU. Daniel menegaskan bahwa kewenangan MK sangat limitatif sebagai sebuah lembaga peradilan yang kewenangannya diatur pada Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Sehingga dalam permohonan ini, sambung Daniel, Pemohon harus menjelaskan dengan sejelas-jelasnya perihal yang diujikan pada perkara ini adalah UU MA dan bukan Peraturan MA. “Sebab MK tidak menguji implementasi dari suatu norma,” jelas Daniel.
Selanjutnya, Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam nasihatnya menyoroti tentang posita dalam permohonan Pemohon yang dinilai mengkontestasikan antara Pasal 79 dan Pasal 31 ayat (1) beserta Penjelasan UU MA yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, sehingga uraian mengenai kasus konkret terkait hal yang diujikan hanya menjadi contoh bahwa pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945.
“Artinya bagian mana dari pasal a quo bertentangan dengan semua norma-norma yang menjadi batu ujinya. Pertentangannya diuraikan, mulai dari asas keadilan, asas hukum, dan secara konkret diuraikan pula dengan pasal-pasal yang ada pada UUD 1945. Dengan demikian terlihat pertentangannya. Dan penjelasannya ini bisa menggunakan teori, perbandingan hukum, dan tidak hanya dengan peristiwa konkret. Jika hanya peristiwa konkret, maka kita tidak bisa melihat secara jernih pertentangannya. Sebab MK mengadili pertentangan norma bukan kasus konkret,” jelas Arief.
Sebelum menutup persidangan, Arief mengatakan Pemohon diberikan waktu selambat-lambatnya hingga Senin, 28 November 2022 pukul 13.30 WIB untuk menyerahkan naskah perbaikan permohonan ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.