JAKARTA, HUMAS MKRI –Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perbaikan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada Senin (14/11/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 98/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Irfan Kamil yang berprofesi sebagai wartawan. Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 273 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 273 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum Pemohon mengatakan bahwa Pemohon melakukan perbaikan dalam permohonannya. “Banyak perubahan yang signifikan yang dilakukan oleh Pemohon, yakni di dalam positanya alasan permohonan mengubah konstruksi yang diuji pasal 273 ayat 1 dan menghilangkan frasa “segera”. Jadi kami fokus soal pemaknaan terhadap penyelenggaraan jalan. Terkait batu uji pemohon tidak merubahnya, hanya saja menggunakan model konstitusional secara bersyarat,” ungkapnya.
Pemohon juga menambahkan data kecelakaan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya dari Januari hingga Mei 2021 untuk wilayah hukum Polda Metro Jaya, kerugian yang dialami pengendaraan akibat kecelakan mencapai 1 miliar rupiah terdiri dari 40 kasus kecelakaan yang diakibatkan kondisi jalan. “Secara implisif penyelenggara jalan dapat didudukan pada pemerintah in casu pemerintah pusat presiden dan/atau Menteri yang mengurusi jalan dan pemerintah daerah incasu gubernur, bupati walikota. Namun apabila kita melihat ketetentuan umum tidak terdapat defenisif penyelenggara jalan secara eksplisit,” imbuhnya.
Sebelumnya, Pemohon mendalilkan Pasal 273 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 273 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Keberlakukan norma tersebut bagi Pemohon telah berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menentukan siapa penyelenggara negara yang akan dikenai sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran. Sebab, dalam menjalankan profesi sebagai wartawan kerap mengendarai kendaraan dengan kecepatan di atas standar untuk bisa mendapatkan berita sebagaimana deadline yang diberikan oleh pimpinan. Namun akibat banyaknya jalan yang dilalui dalam kondisi rusak, sangat mungkin akan berpotensi pada terjadinya kecelakaan (termasuk bagi Pemohon) karena kondisi jalanan yang dibiarkan rusak dalam waktu yang sangat lama.
Artinya, frasa yang ada pada norma tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi penyidik terutama untuk menilai waktu yang dijadikan ukuran dalam laporan terhadap peristiwa kecelakaan akibat jalan rusak tersebut. Sebab laporan yang diajukan kepada penyidik tersebut tidak dapat diproses sehingga masyarakat tidak dapat meminta pertanggungjawaban saat mengalami kecelakaan akibat jalan rusak, baik di jalan umum, jalan provinsi, atau jalan kabupaten kota.
Atas dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah memutuskan “mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; menyatakan Pasal 273 ayat (1) UU LLAJ terhadap kata “yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “yang telah menerima laporan mengenai kerusakan jalan dan tidak melakukan tindakan perbaikan jalan yang rusak dalam waktu 10 hari”. (*)
Penulis: Panji Erawan
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa A.