JAKARTA â Lembaga Kajian Konstitusi merekomendasikan Majelis Permusyawaratan Rakyat mengamendemen konstitusi kembali. Perubahan menyangkut perataan kewenangan lembaga legislatif dan eksekutif. Menurut anggota lembaga ini, Albert Hasibuan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terbelenggu oleh kewenangan lembaga legislatif yang terlalu besar.
"Presiden mengeluh seakan-akan terikat kaki dan tangannya, tidak bisa berbuat atau execute programnya," kata Albert kepada wartawan setelah bertemu dengan Yudhoyono kemarin. "Misalnya program makro soal kemiskinan dan pangan."
Selain Albert, Ketua Lembaga Kajian Konstitusi Sri Soemantri dan enam anggota lain ikut dalam pertemuan ini. Mereka membahas antara lain tentang inkonsistensi yuridis dan teoretis materi Undang-Undang Dasar 945. Kedua, kekacauan struktur dan sistematika UUD, serta, ketiga, pasal-pasal multiinterpretasi.
Menurut Albert, keluhan Presiden ada benarnya. Seolah-olah kewenangan Presiden terbatas dalam menjalankan program. Saat ini, kata dia, terdapat dominasi kekuasaan badan legislatif. Ia mencontohkan Presiden harus berkonsultasi dengan DPR sebelum mengangkat duta besar. "Ini satu contoh yang tidak seimbang," katanya.
Hak interpelasi DPR membuat sistem cenderung ke arah parlementer dari sistem Indonesia yang presidensial. Walaupun kekuasaan lembaga eksekutif yang terlalu besar tak sehat pada zaman Orde Baru, kekuasaan badan legislatif, kata dia, "Sudah kelewatan."
Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa membantah jika dikatakan bahwa Presiden merasa terikat kaki dan tangannya. "Presiden tidak mengatakan demikian," kata Hatta tanpa memerinci.
Menurut Hatta, Presiden meminta masyarakat menyamakan persepsi mengenai kewenangan amendemen kelima. Kewenangan mengamendemen tetap berada di MPR. "Bukan berarti Presiden akan mengamendemen," katanya.
Rekomendasi amendemen dari Lembaga Kajian Konstitusi akan diserahkan kepada MPR. "Setelah melakukan konsultasi dengan MPR, baru menyusun agenda," kata Hatta.
Lembaga Kajian Konstitusi menyarankan amendemen kelima mengenai penyeimbangan kewenangan badan legislatif dan eksekutif. Tujuannya agar checks and balances kedua lembaga maksimal.
Dalam konstitusi baru nanti, sistem presidensial, pembuat undang-undang adalah DPR. Adapun presiden berhak menerima atau menolak. "Itu jelas di mana hak vetonya. Sekarang kan kacau," kata Albert. ⢠NININ DAMAYANTI
Sumber: HU Koran Tempo / 22 April 2008
Foto: www.mahkamahkonstitusi.go.id