PONTIANAK, HUMAS MKRI – Struktur ketatanegaraan Indonesia sebelum adanya perubahan UUD 1945 menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. UUD 1945 sebelum perubahan menganut sistem vertikal hierarki yang membagi antara lembaga tertinggi dan lembaga tinggi negara. Namun setelah adanya perubahan, terjadi perubahan struktur lembaga negara sistem ketatanegaraan yang bersifat vertikal-horizontal dengan supremasi ada di tangan MPR menjadi fungsional serta tidak ada lagi lembaga tertinggi negara dan mekanisme check and balances.
Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam kuliah umum bertema “Perlindungan Hak Konstitusional Warga Negara Melalui Putusan Mahkamah Konstitusi”, pada Jumat (11/11/2022) di Universitas Panca Bhakti, Pontianak. Dalam kegiatan yang juga dihadiri Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih sebagai narasumber lainnya, Daniel menyebut dalam perubahan inilah adanya Mahkamah Konstitusi (MK). MK adalah lembaga negara setelah perubahan UUD 1945. Menurut Daniel, terdapat empat kali perubahan dalam UUD 1945 yakni pada 1999, 2000, 2001 dan 2002.
Daniel menyebutkan MK memiliki kewenangan tambahan, yakni menguji Perpu dan Sengketa Pilkada sampai dibentuknya badan khusus. Sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VIII/2009, belum pernah sekalipun MK menjatuhkan putusan yang amarnya mengabulkan atau menolak permohonan pengujian Perpu. Permohonan pengujian perpu pada umumnya dinyatakan tidak dapat diterima karena perpu telah mendapat persetujuan atau tidak mendapat persetujuan oleh DPR.
“Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, Perpu diperlukan apabila adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan,” tegas Daniel.
Menurut Daniel, sejak 2009 – 2021, telah terdapat 29 pengujian perpu di MK. Hal tersebut merupakan bentuk dari perkembangan kewenangan yang dimiliki MK. “Adapun wujud keputusannya sebagian besar tidak dapat diterima, ditarik kembali, dan ada yang gugur,” jelas Daniel.
Lebih jelas terkait dengan perpu ini, Daniel mengutip beberapa pendapat ahli seperti pendapat Jimly Asshiddiqie, Maria Farida Indrati, dan Bagir Manan serta Putusan MK yang merumuskan pengertian kegentingan memaksa. Berdasarkan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, perpu diperlukan apabila adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU; UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; dan kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Selain pengujian perpu, MK dalam perkembangan kewenangannya pun bertugas mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada). Kewenangan ini dilakukan MK hingga terbentuknya peradilan khusus. Dalam hal ini, diakui oleh Daniel bahwa penyelesaian perkara Pilkada sangatlah dinamis sehingga sejatinya memang perlu lembaga yang fokus menyelesaikan perkara terkait dengan ranah kekuasaan daerah ini.
Sedangkan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan masyarakat Indonesia harus bersyukur hidup di negara demokrasi yang memiliki lembaga MK. MK merupakan lembaga yang lahir karena reformasi. Seandainya tidak ada reformasi tidak mungkin ada MK.
“Karena pada saat proses UUD 1945, perdebatan untuk adanya lembaga untuk membanding atau mengundangkan konstitusi itu luar biasa peliknya dan itu tidak bisa diselesaikan sampai kemudian MK Agung hanya diberikan kewenangan membanding pun hanya terkait peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,” ungkap Enny.
Dikatakan Enny, kewenangan MK dalam Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 yaitu berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Sementara dalam Pasal 24C Ayat (2) UUD 1945, MK wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Sedangkan dalam Pasal 157 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2016 menyebutkan perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK setelah adanya putusan MK.
Enny mengatakan MK sudah menyampaikan putusan yang berkaitan dengan menyelesaikan sengketa terkait dengan stagnasi praktik ketatanegaraan dan sistem hukum. Dalam pertimbangan hukum pada putusan Nomor 20/PUU-XVII/2019 MK menyatakan bagi warga negara yang belum terdaftar dalam DPT dapat juga menggunakan surat keterangan perekaman KTP-el yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau instansi lain yang sejenis. Selain itu, jangka waktu pendaftaran dalam DPTb dalam ditentukan paling lambat 7 hari hanya bagi pemilih dalam keadaan tertentu yakni sakit, tertimpa bencana alam menjadi tahanan karena tindak pidana dan menjalankan tugas pada saat pemungutan suara. Dalam hal penghitungan suara belum selesai dapat diperpanjang tanpa jeda paling lama 12 jam sejak berakhirnya pemungutan suara. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.