JAKARTA (Suara Karya): Seluruh elemen masyarakat diingatkan agar jangan alergi dengan perubahan konstitusi. Sebab, konstitusi atau resultante dapat diganti dengan resultante baru melalui amandemen konstitusi.
"Karena itu, substansi konstitusi tidak harus mengikuti ajaran atau teori serta sistem tata negara yang berlaku, mengingat hukum tata negara itu sendiri tidak lain adalah yang dimuat dalam konstitusi," kata Hakim Konstitusi Moh Mahfud MD di Jakarta, Senin.
Mahfud mencontohkan Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan hasil dari resultante baru terhadap UUD 1945. "MK lahir berdasarkan amendemen ketiga UUD 1945," paparnya. Konstitusi atau resultante itu sendiri merupakan hasil kesepakatan rakyat, yang tercipta sesuai dengan kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya saat konstitusi tersebut dibuat.
Dalam kesempatan tersebut, Mahfud mempertanyakan tidak jelasnya aturan pengalihan penanganan sengketa pilkada dari Mahkamah Agung (MA) ke MK. Mahfud mengaku merasa bingung, karena pasal 106 UU No 32 tahun 2004 tidak diotak-atik oleh pembuat undang-undang. Padahal, pasal tersebut menjadi dasar bagi MA dalam menangani sengketa pilkada.
"Kalau sengketa pilkada akan dialihkan ke MK, seharusnya ada pasal yang menyebutkan bahwa pasal 106 dinyatakan tidak berlaku lagi, atau diganti dengan aturan yang baru. Tapi dalam UU No 32 hal itu tidak diatur," kata Mahfud.
Untuk menyikapinya, Mahfud menyarankan, MK, MA, DPR, dan pemerintah mengadakan pertemuan untuk membahasnya.
Menurut Mahfud, dengan pengalihan penanganan sengketa pilkada ke MK, tugas MK di satu sisi akan semakin berat sedangkan di sisi lainnya tugas MA semakin berkurang. Namun, ia siap melaksanakan tugas konstitusi. "Di Indonesia ada 349 kabupaten, 91 kota, dan 33 provinsi. Kalau sepuluh persen saja dari pilkada yang digelar di tingkat kabupaten, kota, dan provinsi menyisakan sengketa, maka tugas yang diemban MK akan cukup berat," ujarnya.
Sampai saat ini pengalihan penanganan sengketa pilkada dari MA ke MK sebenarnya masih diperdebatkan. Dalam revisi UU No 32 tahun 2004 hanya disebutkan, pengalihan paling lambat dilakukan 18 bulan setelah perubahan ditetapkan.
Revisi UU No 32 tahun 2004 juga tidak menyebutkan apakah aturan pengalihan tersebut akan dicantumkan di dalam sebuah undang-undang atau peraturan pemerintah. Tidak disebutkan pula apa yang menjadi dasar pengalihan dan kapan waktu yang tepat untuk pengalihan tersebut.
"MK hanya diberi tahu pengalihan paling lambat dilakukan 18 bulan setelah undang-undang ditetapkan. Tapi tidak diberi tahu kapan waktu paling cepat pengalihan itu dibolehkan. Kalau MA inginnya sengketa pilkada yang belum dilaporkan ke MA mulai tahun ini diambilalih oleh MK, tetapi MK tidak bisa begitu saja mengambilalihnya jika aturannya belum jelas," tegas Mahfud. (Wilmar P)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id