JAKARTA, HUMAS MKRI – Kasus yang menimpa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bertubi-tubi membuat Sandi Ebenezer Situngkir yang berprofesi sebagai advokat menginginkan adanya mekanisme check and balances dalam tubuh Polri. Untuk itu, Sandi melakukan pengujian Pasal 15 ayat (2) huruf k, Pasal 16 ayat (1) huruf l, Pasal 18 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perdana Perkara Nomor 104/PUU-XX/2022 digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Senin (7/11/2022).
Dalam permohonannya, Sandi Ebenezer Situngkir menyampaikan Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 UU Kepolisian tidak memiliki ketidakjelasan tujuan dan kepastian hukum sebagaimana dimaksudkan dalam UU pembentukan perundang-undangan. “Pada pokoknya terkait dengan Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 18 itu terdapat ketentuan yang menyatakan bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat melakukan tindakan lain menurut penafsiran sendiri,” ujar Sandi.
Menurut Sandi, kewenangan Kepolisian dalam UU tersebut tidak bersifat limitatif. Ia mengatakan parameter penafsiran terhadap kewenangan Kepolisian sangat bias.
“Sudah begitu banyak kewenangan yang diberikan UU kepada Kepolisian baik di ruang lingkup tugas, fungsi dan kewenangan. Akan tetapi dalam penentuan tersebut masih ada ketentuan yang sifatnya sangat tidak terukur. Padahal UU itu bersifat limitatif. Limitatif harus jelas tujuan dan kepastian hukumnya,” ujarnya dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Selain itu Sandi mempersoalkan mengenai kewenangan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) hanya memberikan saran dan pendapat kepada presiden. Sehingga, pandangan Pemohon tidak ada fungsi check and balances dalam UU Kepolisian tersebut.
“Meskipun secara internal ada fungsi pengawasan akan tetapi dalam UU Kepolisian tidak ada fungsi Kompolnas terkait dengan apakah dia sebagai lemabag pengawas pada kepolisian atau tidak. Dengan jelas ditentukan dalam UU tersebut dia hanya berwenang memberikan saran kepada presiden terait dengan calon kapolri dan fungsi anggaran di kepolisian. Sehingga pemohon meminta kepada MK untuk melahirkan norma baru apakah menurut MK terkait check and balances itu sangat diperlukan terkait kinerja kepolisian ke depannya,” jelasnya.
Dalam permohonannya, Pemohon menerangkan Kompolnas adalah institusi yang menjadi pengawas eksternal kepolisian. Akan tetapi, seluruh ketentuan terkait dengan Kompolnas dalam UU Kepolisian tidak satupun kewenangannya mengawasi kinerja dan memeriksa pelanggaran kepolisian. Kompolnas hanya memberikan saran dan masukan kepada Presiden. Pemohon menngungkapkan tidak adanya mekanisme pengawasan eksternal kepada kepolisian melanggar prinsip check and balances dalam tata kelola pemerintahan, padahal kepolisian memiliki tugas, fungsi dan wewenang yang luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketiadaan mekanisme pengawasan ekternal pada kepolisian, merugikan hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945, sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1). Pemohon berkeinginan Kompolnas adalah lembaga pengawas Kepolisian yang memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili penyalagunaan kewenangan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
Pemohon juga menyebutkan dalam permohonannya bahwa ia mengalami kerugian konstitusional akibat adanya ketentuan Pasal 39 dan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) juncto ayat (3) UU 2/2002 yang membatasi Pemohon sebagai warga negara yang bekerja sebagai advokat untuk menjadi Komisioner pada Komisi Kepolisian Negara. Pengaturan keanggotaan Kompolnas yang terdiri dari 3 (tiga) unsur Pemerintah setingkat menteri yaitu Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM dan Menteri Dalam Negeri adalah 7 bertentangan dengan fungsi check and balance dimana baik Kapolri maupun Menteri adalah orang yang diangkat oleh Presiden dan berada dalam ruang lingkup kewenangan Presiden, sehingga tidak mungkin melakukan pengawasan terhadap kepolisian.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf k UU Polri menyatakan “Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang: k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian”. Kemudian, Pasal 16 ayat (1) huruf l UU Polri menyatakan, dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
“Menyatakan ketentuan dalam Pasal 38 ayat 2 huruf c ditambah huruf d, huruf e, huruf f UU RI Nomor 2 tahun 2022 sebagai berikut: (2). Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, Komisi Kepolisian Nasional berwenang: (c) melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku anggota Kepolisian Nasional; (d) Menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik anggota Kepolisian Nasional; (e) melakukan verifikasi, klarifikasi, dan investigasi terhadap laporan dugaan pelanggaran Kode Etik anggota Kepolisian Nasional; (f) memutus benar tidaknya laporan dugaan pelanggaran Kode Etik anggota Kepolisian Nasional,” tandas Sandi.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum Pemohon. “Menguraikan terkait dengan apakah saudara punya legal standing atau tidak disitu, itu tidak ada uraikan dengan proporsi yang lengkap. Ini harus Anda buat secara proporsional, lengkap jelas terkait hak apa sesungguhnya yang diberikan UUD kepada saudara sebagai pemohon terakit norma-norma yang diajukan permohonan itu. Apakah betul anggapan saudara hak anda itu dirugikan dengan berlakunya norma pasal tersebut. Dan harus anda jelaskan pula kerugiannya bersifat spesifik, actual atau setidak-tidaknya potensial ya itu saudara jelaskan termasuk sebab akibatnya,” terang Enny.
Sedangkan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta Pemohon untuk melampirkan terkait dengan pernah dilaporkannya ke Kepolisian. “Apakah ada surat bukti atau bukti laporan? Kalau bisa itu dilaporkan, diuraikan dalam permohonan ini terkait legal standing supaya bisa kuat,”jelas Daniel.
Sementara Hakim konstitusi Suhartoyo menyebutkan Pemohon harus melengkapi kerugian konstitusional yang dialami. “Kerugian saudara sebagai perorangan WNI apa dan sebagai advokat kerugiannya apa? Itu yang harus clear kan. Karena meskipun bapak sebagai perseorangan warga negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 UU MK itu terpenuhi, tetapi kemudian harus ada anggapan kerugian konstitusional yan harus dijelaskan untuk membangun legal standing itu bapak bisa kemudian menemukan permasalahan dimana kerugian konstitusional itu bapak rasakan, bapak dirugikan dengan adanya norma pasal yang diajukan pengujian itu,” ucap Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo memberikan waktu selama 14 hari kerja untuk memperbaiki permohonan. Selambatnya perbaikan permohonan diterima Kepaniteraan MK pada Senin, 21 November 2022 pukul 10.00 WIB.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana