JAKARTA (Suara Karya): Lambannya pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan bentuk perlawanan penguasa terhadap pemberantasan korupsi. Untuk itu, perlu taktik dan strategi untuk meloloskan draf RUU Pengadilan Tipikor tersebut agar bisa dibahas di DPR.
Menurut mantan Koordinator Staf Ahli Mahkamah Konstitusi (MK), Irmanputra Sidin, korupsi filosofinya memang sangat berkaitan erat dengan kekuasaan sebagaimana adagium kuno menyatakan power tend to corrupt. "Oleh karena itu, setiap upaya pemberantasan korupsi, pasti akan mendapat perlawanan, terutama dari para penguasa. Kalau RUU Pengadilan Tipikor itu disahkan, ada kekhawatiran suatu saat bisa mengena kepada para penguasa tersebut," kata Irman saat dihubungi Suara Karya, kemarin.
Waktu tiga tahun yang diberikan MK kepada pemerintah untuk membentuk landasan hukum bagi Pengadilan Tipikor, menurut Irman, tampaknya memang tidak cukup untuk mengakomodir pembahasan RUU Pengadilan Tipikor menjadi sebuah undang-undang. "Seharusnya dari awal jangan menggunakan proses RUU kalau hanya diberi waktu selama tiga tahun, tetapi langsung saja ditetapkan pemerintah untuk mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Pengadilan Tipikor," kata Irman. Sebab proses pembuatan undang-undang melalui proses RUU, menurut Irman, dipastikan memakan waktu yang relatif lama dibandingkan menggunakan mekanisme perppu. "Untuk didaftarkan di DPR saja memerlukan waktu berbulan-bulan," ujar pakar hukum tata negara itu.
Solusi yang menurut Irman paling baik saat ini adalah, penggunaan perppu. "Presiden tinggal menyatakan mengeluarkan perppu untuk Pengadilan Tipikor. Hal itu harus dilakukan secepatnya," kata dia.
Hal senada diungkapkan pakar ilmu hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Rudy Satriyo Mukantardjo. Dia sependapat dengan anggapan bahwa ada keengganan untuk menyetujui pembentukan Pengadilan Tipikor. "Hal itu, sangat mengkhawatirkan. Sebab, Pengadilan Tipikor harus tetap ada," kata Rudy.
Alasan Rudy, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan negeri untuk menangani kasus-kasus korupsi masih sangat rendah. Untuk itu, masyarakat harus mendesak pihak yang berwenang terhadap pembahasan RUU tersebut agar segera dibahas. "Pemerintah dan DPR pun harus mengumumkan kemajuan pembahasan RUU tersebut, sehingga masyarakat bisa melaksanakan mekanisme kontrol terhadap pembentukan UU Pengadilan Tipikor," kata Rudy.
Rudy pun setuju dengan pembentukan perppu sebagai landasan hukum Pengadilan Tipikor. Namun, pembentukan UU Pengadilan Tipikor melalui mekanisme RUU harus diupayakan maksimal terlebih dahulu. (Nefan Kristiono)
Sumber www.suarakarya-online.com
Foto www.google.co.id