MALANG, HUMAS MKRI – Semua hukum acara baik pidana, perdata, maupun MK esensinya sama, yakni hukum tentang tata beracara. Demikian disampaikan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dalam Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diseenggarakan oleh Iblam School of Law kerja sama dengan DPC Peradi Jakarta Barat, pada Jumat (4/11/2022).
Suhartoyo yang hadir secara daring menjelaskan, hukum tentang beracara di peradilan baik di peradilan manapun termasuk di MK tidak dapat dipisahkan. Hal itu disebabkan karena esensi dari hukum acara adalah tentang prosedur, tentang formalitas sebuah ketentuan yang mengatur hukum acara dapat dipergunakan dan kemudian dapat mencapai fungsi hukum materiil.
Dikatakan Suhartoyo, beracara di MK dikenal istilah pemberian kuasa dengan menggunakan kuasa hukum, begitu juga dengan peradilan lainnya. “Hanya yang mempunyai karakter khusus adalah kuasa hukum di MK tidak hanya advokat, inilah prinsip MK karena ingin menjangkau para pencari keadian supaya bisa mendapatkan access to justice,”terangnya.
Menurut Suhartoyo, MK memperbolehkan bagi masyarakat umum yang bukan berprofesi sebagai advokat untuk beracara di MK. Ia tak menampik para pemohon yang beracara di MK kerap menggunakan kuasa hukum. Advokat dipandang menguasai semua hukum acara dan menguasai hukum materilnya.
“Nah ini Anda yang mau jadi advokat harus tahu tentang itu. Bahwa di pundak bapak ibu calon advokat itu akan terbebani sebuah tanggung jawab harus menguasai semua hukum acara hukum acara apapun. Karena tanpa hukum acara yang Bapak dan Ibu kuasai tidak ada kekuatan untuk beracara. Karena semua perkara atau persoalan, sekuat apapun posisinya yang ada pada dirinya principal atau klien, kalau tidak kemudian ibu bapak bisa mendrive hukum acara yang benar maka tidak diperjuangkan hak-hak principal,”tegas Suhartoyo saat menjelaskan paparannya.
Kemudian, dalam paparannya, Suhartoyo juga menyebutkan istilah prinsipal. Ia mengatakan, istilah prinsipal dalam UU khususnya UU MK maupun peraturan MK memang tidak ada atau tidak ditemukan. Menurutnya, hal itu digunakan hanya untuk memudahkan dalam penyebutan dan kata tersebut tidak asing lagi dalam pengucapan sehari-hari. Ia menegaskan, penggunaan kata prinsipal untuk membedakan penggugat original dengan kuasa hukumnya. “Sebenarnya untuk membelah disitu. Jadi Bahasa harian kita di lingkungan peradilan itu sangat tergantung pada konteksnya,” tegas Suhartoyo.
Dalam sesi diskusi, Suhartoyo juga menerangkan perkara yang pernah diajukan masih dapat diajukan kembali. Namun dalam pengajuan kembali, pemohon harus dapat menjelaskan bahwa dalam permohonan yang baru memiliki batu uji yang berbeda degan yang sebelumnya. Kemudian, sambungnya, setiap permohonan di MK selalu dihadapkan pada batu uji konstitusional yang ada dalam UUD 1945. “Dalam permohonan yang baru harus ada ramuan atau formasi batu uji yang berbeda dari sebelumnya. Kemudian, harus mempunyai alasan yang berbeda dari sebelumnya,” urainya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.