JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perbaikan Perkara Nomor 100/PUU-XX/2022 digelar pada Selasa (1/11/2022). Perkara ini dimohonkan oleh perorangan warga negara Indonesia, Rega Felix.
“Pemohon dengan ini hendak menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 tentang UU SBSN terhadap UUD 1945,”ujar Rega felix dalam sidang yang digelar secara daring.
Dikatakan Rega, secara garis besar perbaikan permohonan dilakukan pada bagian perihal. “Sesuai dengan nasihat majelis hakim menambahkan penjelasan mengenai Pasal 25 UU SBSN. Jadi diperihal tidak hanya Pasal 25 UU SBSN saja,” terangnya di hadapan pimpinan sidang Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
Selanjutnya, Rega menjelaskan, dalam kewenangan MK juga telah dilakukan perbaikan sesuai dengan nasihat majelis hakim yaitu dengan menambahkan UU Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. “Lalu, pada bagian legal standing yaitu pemohon menambahkan kedudukan hukum sebagai nasabah sukuk negara,” tegas Rega.
Baca juga: Menyoal Ketidakjelasan Prinsip Syariah dan Legitimasi MUI
Sebelumnya dalam sidang pendahuluan pada Rabu (19/10/2022), Pemohon menerangkan bahwa ia merupakan perorangan warga negara Indonesia, baik secara potensial maupun aktual merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 UU SBSN. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan untuk memilah-milah prinsip syariah sesuai kehendak Pemerintah, hilangnya hak untuk beribadat Pemohon sesuai dengan keyakinannya, serta hak atas kepastian hukum yang sama terhadap prinsip syariah. Dikatakan Rega, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU SBSN bersifat multitafsir karena mempunyai pengertian jamak.
Menurut Rega, pengertian “prinsip-prinsip syariah” dengan melihat kepada penjelasan Pasal 25 UU SBSN yang menyatakan, “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah”, memberikan makna banyaknya jumlah lembaga yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Hal ini menunjukan pluralitas prinsip syariah itu ditentukan dari pluralitas lembaga yang mempunyai kewenangan.
Lebih lanjut Rega menjelaskan, kerancuan logika berpikir Pemerintah menunjukkan bahwa Pemerintah tidak menginginkan kehilangan kontrol atas keyakinan agama rakyatnya (prinsip syariah). Pemerintah berdalih agar masyarakat tidak kebingungan memilih lembaga fatwa yang majemuk di masyarakat maka penetapan prinsip syariah terkait perbankan syariah hanya dapat melalui MUI. Sedangkan jika Pemerintah yang membutuhkan, Pemerintah bebas menunjuk lembaga fatwa yang dikehendaki. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Untuk itu dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” pada Pasal 25 UU SBSN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah” serta meminta MK untuk menyatakan frase “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana