JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Selasa (01/11/2022). Sidang permohonan perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam.
Agenda sidang kedua belas ini yakni mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan Pihak Terkait Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (Dewan Da’wah). Ahli dari Dewan Da’wah, Teten Romly Qomaruddien, secara daring mengatakan persoalan pernikahan beda agama seolah tidak mengenal kata berhenti walaupun pada dasarnya ajaran Islam telah membedakan dan telah memberikan aturan yang jelas. “Selain terdapat dalil-dalil ayat yang menegaskan haramnya pernikahan beda agama tersebut, juga adanya riwayat hadits ditambah lagi adanya ijma’ para ulama di setiap zamannya,” ungkap Teten.
Dikatakan Teten, sebagai bangsa yang beragama maka perlu memperhatikan pentingnya menempatkan falsafah negara yakni sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Teten menjelaskan, UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Bab 1 Pasal 1 yang berbunyi, “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan tetap berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Kemudian pada Bab 1 Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.” Demikian pula Bab 1 Pasal 2 ayat (2) yang berbunyi, “Tiap-tiap perkawinan itu dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
“Semua itu menurut ahli sudah relevan dengan kepribadian bangsa yang beragama dan menjunjung tinggi konstitusi negara selain sesuai dengan pentingnya merawat sumber daya manusia yang menjunjung akal sehat dan akal selamat juga memenuhi hakikat jalan hidup dan jalan mati manusia untuk menuju dua alam kebahagiaan hakiki,” terangnya.
Menurut Teten, sebagai warga negara yang mematuhi ajaran agama, mematuhi dalil agama dan wahyu merupakan kepatuhan kepada sumber hukum yaitu syariah, menjalankan ketaatan kepada pandangan hukum yaitu fiqih dan mendukungnya terhadap aturan dan pedoman yang berlaku merupakan kesetiaan terhadap undang-undang.
Selain itu, demi terwujudnya rumah tangga, keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah merupakan cita-cita yang wajib diperjuangkan dengan kesamaan iman. “Dengan mengedepankan pertimbangan kebenaran wahyu, akal yang sehat dan akal yang selamat serta fitrah yang telah ditetapkan Allah serta mencegah kemudaratan, sudah sepantasnya MK menolak gugatan manapun yang ingin mencabut UU a quo tentang perkawinan.
Ahli berikutnya yang dihadirkan Dewan Da’wah yaitu Abdul Choir Ramadhan yang mengatakan pernikahan beda agama termasuk perbuatan tercela oleh masyarakat. “Perkawinan yang sah menurut ajaran agama Islam yang telah memenuhi syarat dan hukum. Kedua unsur itu tidak dapat dinegasikan, dia bersifat universal dan mendasar,” kata Abdul Choir.
Ia menegaskan, ketentuan Pasal 2 ayat (1), Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 29 UUD 1945. “Jika permohonan uji materi ini dikabulkan oleh MK maka hal tersebut sama saja dengan melegalkan perzinaan karena pernikahan beda agama merupakan dosa besar dan menimbulkan kemudharatan yang berkelanjutan,” tegasnya.
Sedangkan Manager Nasution menegaskan faktor yang menentukan sahnya perkawinan adalah dalam syarat-syarat yang dilakukan oleh agama dan kepercayaan dari masing-masing calon. Sedangkan kewajiban pencatatan perkawinan oleh negara melalui peraturan perundang-undangan merupakan persyaratan administratif. Dengan demikian, telah jelas pengaturan ini menekankan penghormatan terhadap ajaran agama dan kepercayaan setiap warga negara yang dijadikan syarat sah dari perkawinan tanpa diskriminasi.
Baca juga:
Gagal Nikah karena Beda Agama, Seorang Warga Uji UU Perkawinan
Pemohon Uji Ketentuan Perkawinan Beda Agama Kurangi Objek Pengujian
Perkawinan Beda Agama dalam Pandangan DPR dan Pemerintah
MUI Minta MK Tolak Perkawinan Beda Agama
Perkawinan Beda Agama dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Islam
Dewan Da’wah: Dalil Pemohon Soal Nikah Beda Agama Tidak Beralasan Hukum
Nikah Beda Agama Versi Ade Armando dan Rocky Gerung
Perkawinan Beda Agama Mudaratnya Lebih Besar
Pasal 29 UUD 1945 Menjadi Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Ulama Ormas Islam Indonesia Sepakat Melarang Pernikahan Beda Agama
Pernikahan Berbasis Norma Agama dalam Perspektif HAM Internasional
Sebagaimana diketahui, permohonan Nomor 24/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian UU Perkawinan ini diajukan oleh E. Ramos Petege. Ramos merupakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perempuan beragama Islam. Namun, perkawinan itu harus dibatalkan dikarenakan perkawinan beda agama tidak diakomodasi oleh UU Perkawinan. Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak dapat melangsungkan perkawinan tersebut.
Pemohon juga merasa dirugikan karena kehilangan kemerdekaan dalam memeluk agama dan kepercayaan karena apabila ingin melakukan perkawinan beda agama, akan ada paksaan bagi salah satunya untuk menundukkan keyakinan. Selain itu, Pemohon juga kehilangan kemerdekaan untuk dapat melanjutkan keturunan dengan membentuk keluarga yang didasarkan pada kehendak bebas. Adapun materi yang diujikan Ramos yaitu Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Perkawinan. Menurutnya, ketentuan yang diujikan tersebut, bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) serta Pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan, “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 8 huruf f UU Perkawinan menyatakan, “Perkawinan dilarang antara dua orang yang:… f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.”
Penulis: Utami Argawati.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.