JAKARTA, HUMAS MKRI – Penetapan Komponen Cadangan berupa sumber daya alam dan sumber daya buatan serta sarana dan prasarana nasional tidak mengabaikan prinsip kesukarelaan. Sebab, hal yang dikelola dengan baik oleh warga negara ini telah melewati serangkaian tahapan yang dilakukan oleh Kementerian Pertahanan dengan kesukarelaan serta tetap memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak properti yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Sehingga komponen cadangan, tidak menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak pula melanggar prinsip conscientious objection bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sarana dan prasarana lain. Demikian pertimbangan hukum Putusan Nomor 27/PUU-XIX/2021 yang dibacakan Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih pada Senin (31/10/2022).
“Dengan demikian, pembentukan komponen cadangan menjadi salah satu wadah keikutsertaan warga negara serta sarana dan prasarana nasional dalam usaha pertahanan negara yang dilaksanakan oleh pemerintah dengan tetap menerapkan sistem tata kelola pertahanan negara yang demokratis, berkeadilan dan menghormati hak asasi manusia serta mentaati peraturan perundang-undangan,” kata Enny dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hakim konstitusi lainnya.
Sebelumnya, permohonan yang diajukan oleh empat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yakni Perkumpulan Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (IMPARSIAL), Perkumpulan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Yayasan Kebajikan Publik Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia dan tiga orang warga menguji pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Para Pemohon menyatakan Pasal 4 ayat (2) dan (3), Pasal 17, Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) huruf a, Pasal 28, Pasal 29, Pasal 46, Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 75, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 79, Pasal 81 dan Pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan UUD 1945.
Ketentuan Pidana
Lebih jelas Enny menyatakan terkait dengan ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 79 hingga Pasal 83 UU PSDN yang dipersoalkan oleh para Pemohon dan dinilai melanggar prinsip conscientious objection karena aturan yang tidak rigid. Mahkamah menegaskan bahwa norma hukum pidana tersebut merupakan kategori administrative penal law atau produk legislatif berupa peraturan perundang undangan dalam lingkup administrasi negara yang memuat sanksi pidana. Keberadaan ketentuan kewajiban yang telah diatur dalam norma Pasal 66 UU PSDN tersebut diserta dengan ketentuan pidana dengan tujuan untuk melindungi kepentingan bangsa dan negara. sebab, kewajiban pemilik dan/atau pengelola menyerahkan pemanfaatan atas sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional telah disepakati untuk ditetapkan statusnya menjadi komponen cadangan.
“Oleh karena itu, adanya ancaman sanksi pidana merupakan konsekuensi logis untuk menghindari adanya pengingkaran dan tipu muslihat. Sehingga dengan adanya pengaturan sanksi pidana yang jelas dalam penegakannya, menurut Mahkamah hal ini akan mendorong percepatan pemulihan kembali keadaan dan demobilisasi. Terlebih lagi, proses penetapan menjadi komponen cadangan melewati prosedur yang ketat dengan adanya pernyataan Presiden untuk mobilisasi apabila seluruh atau sebagian wilayah NKRI dalam keadaan darurat militer dan hal tersebut harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPR dan keadaan darurat militer tersebut dapat saja terjadi ketika negara menghadapi ancaman militer atau ancaman hibrida,” jelas Enny.
Ancaman Hibrida
Selanjutnya mengenai ancaman hibrida untuk menyatakan mobilisasi, menurut Mahkamah, sambung Enny, pembentuk undang-undang perlu segera mengatur secara lebih rinci dan komprehensif dalam undang-undang dengan mengharmoniskan dan mensinkronkan dengan undang-undang lainnya, di antaranya UU 3/2002 dan UU 34/2004. Perubahan yang komprehensif tersebut, kata Enny, perlu segera dilakukan mengingat ancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PSDN terdapat kejelasan pembedaan antara ancaman militer, nonmiliter, dan hibrida. Terlebih lagi, dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (2) huruf c UU PSDN dijelaskan jika ancaman hibrida yang bersifat campuran dan keterpaduan antara ancaman militer dan nonmiliter.
“Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, menurut Mahkamah dalil para Pemohon yang mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 81 dan Pasal 82 UU 23/2019 adalah tidak beralasan menurut hukum,” ucap Enny.
Untuk itu, dalam Amar Putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman, Mahkamah memutuskan mengadil dalam Provisi; menolak permohonan provisi para Pemohon untuk seluruhnya. “Dalam Pokok Permohonan, menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan Pasal 75 dan Pasal 79 Undang-Undang Nomor Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional Untuk Pertahanan Negara tidak dapat diterima. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya,” tandas Anwar.
Baca juga:
Komponen Cadangan Pertahanan Negara dalam UU PSDN Diuji
DPR: UU Pertahanan Negara Tidak Hanya Mengatur Ancaman Militer dan Nonmiliter
Pandangan Ahli Soal Komput, Komcad, dan Komduk dalam UU PSDN
Najib Azca: Komponen Cadangan Harus Diarahkan Untuk Membantu Komponen Utama
Sebagai informasi, para Pemohon menilai ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) serta Pasal 29 UU PSDN telah menciptakan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Sebab, bersifat mutatis mutandis. Di samping itu, pasal a quo dinilai kabur karena mengatur perihal mobilisasi komponen cadangan untuk menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida. Padahal, menurut para Pemohon pada pengaturan ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, telah secara eksplisit memberikan batasan pengerahan komponen cadangan dan komponen pendukung yang semata-mata hanya dapat dimobilisasi menghadapi ancaman militer. Sehingga para Pemohon berpendapat Pasal 17, Pasal 28, Pasal 66 ayat (2), Pasal 79, Pasal 81, dan Pasal 82 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Selain itu, para Pemohon juga beranggapan penyebutan Sumber Daya Alam, Sumber Daya Buatan, serta Sarana dan Prasarana Nasional sebagai unsur-unsur komponen pendukung dan komponen cadangan dalam pasal-pasal tersebut telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung sebagaimana ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD 1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 bersifat limitatif.
Berikutnya para Pemohon juga menyatakan Pasal 18, Pasal 66 ayat (1), Pasal 77, Pasal 78, dan Pasal 79 UU PSDN bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 terkait dengan Prinsip Conscientious Objection atau hak menolak warga atas dasar keyakinannya. Menurut para Pemohon, hal ini merupakan prinsip kardinal pelibatan warga sipil dalam upaya-upaya pertahanan yang telah diakui oleh berbagai negara dan masyarakat internasional, serta menjadi bagian dari hukum internasional hak asasi manusia.(*)
Penulis : Sri Pujianti