JAKARTA, HUMAS MKRI, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan norma Pasal 2 ayat (4), Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1), Pasal 38 ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 52 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) tidak menimbulkan ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan keterlindungan hak pribadi yang dijamin dalam UUD 1945. Oleh karennanya, dalil Sulistya (Pemohon) tidak beralasan menurut hukum.
Hal tersebut diucapkan Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam sidang pengucapan yang digelar di MK pada Senin, (31/10/2022). Dalam amar Putusan Nomor 88/PUU-XX/2022 Mahkamah menyatakan menolak seluruh permohonan Pemohon.
“Amar putusan, mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan.
Mahkamah dalam pertimbangan hukum menegaskan bahwa pengecualian dalam norma Pasal 2 ayat (4) UU KIP merupakan hal yang dapat dibenarkan guna memberikan perlindungan yang adil. Jadi, meskipun setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas informasi publik yang berkaitan dengan Badan Publik untuk masyarakat luas, namun terdapat pengecualian yang bersifat ketat dan terbatas terhadap informasi publik yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 dan Pasal 17 UU KIP.
“Salah satu informasi yang tidak dapat diberikan oleh Badan Publik yakni “informasi yang berkaitan dengan hak-hak pribadi”. Menurut Mahkamah, apabila Informasi Publik dimaksud dibuka maka hal ini justru dapat menimbulkan dampak negatif. Dengan demikian, dalil Pemohon berkenaan dengan pengujian norma Pasal 2 ayat (4) UU KIP adalah tidak beralasan menurut hukum,” sebut Manahan membacakan pertimbangan hukum.
Bukan Ranah MK
Terkait dengan dalil Pemohon terhadap frasa "hak-hak pribadi" dalam Pasal 6 ayat (3) huruf c, bahwa frasa "isi akta otentik yang bersifat pribadi" dalam Pasal 17 huruf g, frasa "rahasia pribadi, yaitu kondisi keuangan, aset, pendapatan" dalam Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU KIP yang dimohonkan Pemohon agar diberi pemaknaan oleh Mahkamah untuk mengecualikan informasi publik yang telah dikecualikan dalam UU tersebut, menurut Mahkamah hal tersebut justru tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan lebih lanjut. Terlebih lagi, sambung Manahan, hal ini bukan pula ranah kewenangan Mahkamah untuk menyelesaikan kasus konkret yang dialami Pemohon.
“Dengan demikian, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon berkenaan dengan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, dan Pasal 20 ayat (1) UU 14/2008 adalah tidak beralasan menurut hukum,” jelas Manahan.
Baca juga:
Akses Data Gana-Gini Terhambat UU KIP Digugat
Pemohon Perbaiki Uji UU KIP yang Dinilai Hambat Akses Data Gana-Gini
Sebagai informasi, dalam kasus konkret Sulistya (Pemohon) dan Soeprawiro Ing Widjojo telah bercerai berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 82/Pdt.G/2002/PN.Sby tanggal 23 April 2002. Pemohon mempersoalkan tanah berikut bangunan rumah di Mansion Park Blok MP I Kav. No. 10 Citraland City, Kelurahan Jeruk, Kecamatan Lakarsantri, Kota Surabaya, Jawa Timur yang dibeli oleh Soeprawiro Ing Widjojo (mantan suami Pemohon) yang merupakan (seharusnya) aset bersama. Di dalam putusan tersebut mantan suami Pemohon menolak untuk membagi harta bersama. Atas persoalan tersebut, Pemohon mengajukan upaya hukum melalui gugatan perdata terhadap pembagian harta bersama tersebut.
Untuk itu, Pemohon membutuhkan salinan sertifikat berikut warkah tanah atas rumah tersebut. Namun sertifikat ataupun salinannya tidak dapat diperoleh karena Pemohon saat proses pembuatan Akta Jual Beli (AJB) dan balik nama atas rumah tidak dilibatkan sama sekali. Kendala ini membawa Pemohon menuju institusi Kantor Pertanahan untuk membukakan informasi terkait bidang pertanahan. Namun, permintaan tersebut ditolak dengan alasan hal demikian termasuk informasi yang dikecualikan. Kemudian Pemohon mengajukan permohonan penyelesaian sengketa informasi publik kepada Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur (KIP Jatim).
Di samping itu, Pemohon menemui masalah karena proses penyelesaian sengketa yang berlarut-larut hingga 225 hari sejak Pemohon mengajukan permohonan. Terkait berbagai rentetan persoalan yang dialami, Pemohon menilai keberlakuan Pasal 2 ayat (4) UU KIP telah merugikan hak konstitusionalnya terutama Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sebab, penentuan informasi publik sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan kebermanfaatan daripada keadilan.
Berikutnya Pemohon juga beranggapan ketentuan Pasal 6 ayat (3) huruf c, Pasal 17 huruf g, Pasal 17 huruf h angka 3, Pasal 20 ayat (1) UU KIP tersebut kabur. Sebab pasal-pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian pelaksanaan aturan yang diinterpretasikan oleh lembaga yang berwenang dalam menangani sengketa informasi publik karena normanya dinilai terlalu umum. Dalam situasi ini, sambung Wayan, Mahkamah berkewajiban menghentikan ketidakpastian penerapan aturan yang justru disebabkan ketidakpastian aturan yang bersifat umum, sebagaimana pendirian Mahkamah, hal demikian termasuk masalah konstitusionalitas norma.
Penulis: Sri Pujianti.
Editor: Nur R.
Humas: Raisa Ayuditha.