JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh permohonan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (UU Perbankan Syariah) dalam Sidang Pengucapan Putusan, Senin (31/10/2022). Permohonan ini diajukan oleh oleh PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Harta Insan Karimah Parahyangan (BPR Syariah HIK Parahyangan) yang mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams secara bergantian membacakan pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 32/PUU-XX/2022. Mahkamah dalam pertimbangan hukum menyebutkan telah ternyata BPR/BPRS dapat ikut serta dalam lalu lintas pembayaran melalui kerjasama dengan bank umum. Tidak hanya itu, BPR/BPRS juga dapat melakukan optimalisasi tranksaksi lalu lintas pembayaran melalui lembaga jasa keuangan lain dan penyelenggara layanan keuangan lain yang berbasis TI dengan memperhatikan karakteristik BPR/BPRS.
Dalam hal ini, sambung Wahiduddin, apabila Pemohon ingin menyelenggarakan kegiatan usaha lalu lintas pembayaran secara langsung, BPRS dapat meningkatkan kelembagaannya menjadi Bank Umum Syariah (BUS) sehingga tingkat kesehatan bank tetap terjaga, risiko liquidity mismatch dan risiko lain dapat dimitigasi, serta memiliki teknologi informasi yang handal yang jika digunakan tetap dapat menjaga kepercayaan masyarakat. Artinya, norma dalam pasal-pasal a quo tidak dimaksudkan untuk memperlakukan berbeda antara Bank Umum/BUS dengan BPR/BPRS tetapi lebih dimaksudkan sebagai pelaksanaan prinsip kehati-hatian dalam pengelolaan dana masyarakat. Dengan demikian, dalil yang menyatakan norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU 21/2008 membatasi hak konstitusional Pemohon dalam memberikan pelayanan kepada nasabah, menimbulkan perlakuan berbeda 198 terhadap BPRS yang berbentuk perseroan terbatas, dan menghambat BPRS untuk berkembang adalah tidak beralasan menurut hukum.
Penawaran Umum
Wahiduddin menjelaskan, secara normatif berdasarkan Pasal 13 UU 21/2008 membolehkan BUS melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang memenuhi syarat tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal. Berdasarkan ketentuan tersebut, ketika akan melakukan penawaran umum, BUS terlebih dahulu harus memenuhi syarat-syarat menjadi emiten atau perusahaan publik yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, salah satunya memenuhi prinsip keterbukaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Namun berbeda dengan BUS, UU 21/2008 melarang BPRS melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal. Oleh karena itu, menghapus kata “umum“ dalam Pasal 13 UU 21/2008 sebagaimana yang didalilkan Pemohon tidak serta merta menjadikan BPRS sebagai perusahaan emiten yang dapat melepas saham di pasar modal. Hal demikian terjadi karena ketentuan norma Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 menentukan BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: (a) warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; (b) pemerintah daerah; atau (c) dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b.
Kepemilikan BPRS
Dengan demikian, sambungnya, ketentuan Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 telah mengatur secara tegas bahwa BPRS hanya boleh dimiliki Warga Negara Indonesia. Sehingga, ketika BPRS menjadi emiten dan saham BPRS dilepas di pasar modal, maka terbuka kemungkinan untuk dimiliki pihak asing, baik oleh warga negara asing maupun badan hukum asing karena kegiatan jual beli saham di pasar modal tidak hanya 199 melibatkan warga negara Indonesia dan badan hukum Indonesia melainkan juga melibatkan warga negara asing dan badan hukum asing. Apabila kata “umum“ dihapus sebagaimana didalilkan Pemohon, larangan kepemilikan oleh warga negara asing dan badan hukum asing sebagaimana ditentukan Pasal 9 ayat (2) UU 21/2008 tidak dapat dipenuhi. Padahal kehadiran dan tujuan pembentukan BPRS dalam melayani transaksi keuangan masyarakat dan UMKM serta ketentuan mengenai kepemilikan BPRS oleh WNI dan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh WNI.
“Karena itu, sumber permodalan BPRS sengaja dirancang berasal dari pemegang saham pendiri, investor lokal lain di luar pasar modal, dan penguatan konsolidasi melalui proses penggabungan dan peleburan. Jika dana hasil penawaran umum efek di pasar modal digunakan untuk memperkuat modal BPRS sebagaimana keinginan Pemohon, maka penerbitan efek yang bersifat utang dan/atau sukuk tersebut justru tidak diperbolehkan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 66/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum dan Pemenuhan Modal Inti Minimum Bank Pembiayaan Rakyat Syariah,” ujar Wahiduddin.
Baca juga:
BPR Syariah Minta Perlakuan Sama dalam Pelayanan Jasa Lalu Lintas Pembayaran
DPR Sampaikan Perbedaan Kewenangan BPRS dengan Bank Umum
OJK Minta BPRS Kerja Sama dengan Lembaga Lain untuk Pelayanan Transfer Dana
Faisal Basri: BPRS Bisa Berperan dalam Pertumbuhan Ekonomi Nasional
Pelarangan BPRS dalam Lalu Lintas Pembayaran Pengaruhi Pelayanan kepada Nasabah
Penyediaan Modal BPRS
Berkenaan dengan keterbatasan penyediaan modal BPRS, Wahiduddin menerangkan, hal tersebut tidaklah serta merta menyebabkan usaha BPRS perlahan menjadi hilang. “Merujuk fakta empiris sebagaimana dijelaskan OJK, sampai dengan Mei 2022, aset industri BPR dan BPRS tumbuh sebesar 9.5% (sembilan koma lima persen) dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequaty Ratio, CAR) BPR sebesar 32.47% (tiga puluh dua koma empat puluh tujuh persen) dan CAR BPRS sebesar 23.35% (dua puluh tiga koma tiga puluh lima persen). Selain itu, secara year-on-year, terdapat peningkatan jumlah dana pihak ketiga BPR dan BPRS sebesar 10.7% (sepuluh koma tujuh persen) dan penyaluran kredit/pembiayaan sebesar 8.6% (delapan koma enam persen). Begitu pula, sebagai community bank, penyaluran kredit dan pembiayaan oleh BPR dan BPRS kepada sektor UMKM mencapai 50.6% (lima puluh koma enam persen). Dari fakta tersebut, rasio permodalan BPR dan BPRS menunjukkan ketahanan yang cukup baik dan mampu menopang risiko kredit dan pembiayaan yang menunjukkan kecenderungan meningkat,” terang Wahiduddin.
Sejalan dengan hal tersebut, ia melanjutkan, rasio likuiditas dan profitabilitas BPR dan BPRS juga mencatatkan kinerja yang masih relatif terjaga. Lebih lanjut, sebagaimana keterangan OJK dalam persidangan, selama periode tahun 2016 hingga 2022, justru semakin banyak BPR/BPRS dengan modal yang lebih besar 200 yang menunjukkan semakin kuatnya BPR/BPRS dalam mengembangkan bisnis dan memitigasi risiko kegiatan usahanya. Jikalaupun terdapat BPR/BPRS yang dicabut izin usahanya, tidak satupun disebabkan oleh ketidakcukupan modal namun dikarenakan adanya permasalahan tata kelola internal (mismanagement) BPR/BPRS yang tidak dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta adanya fraud yang dilakukan oleh pejabat atau pegawai BPR/BPRS.
Oleh karena itu, berdasarkan uraian pertimbangan di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon yang menyatakan kata “umum” dalam norma Pasal 13 UU 21/2008 menyebabkan sumber permodalan atau keuangan BPRS menjadi terbatas yang mengakibatkan BPRS kesulitan menjaga kesehatan keuangannya adalah tidak beralasan menurut hukum.
Upaya Perlindungan BPRS
Berkenaan dengan kegiatan penyertaan modal, Pasal 1 angka 3 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 36/POJK.03/2017 tentang Prinsip Kehatian-hatian Dalam Kegiatan Penyertaan Modal, menyatakan penyertaan modal adalah penanaman dana Bank dalam bentuk saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, termasuk penanaman dalam bentuk surat utang konversi wajib (mandatory convertible bonds) atau surat investasi konversi wajib (mandatory convertible sukuk) atau jenis transaksi tertentu yang berakibat Bank memiliki atau akan memiliki saham pada perusahaan yang bergerak di bidang keuangan. Berdasarkan pengertian tersebut, oleh karena itu, Pasal 25 huruf e UU 21/2008 melarang BPRS melakukan penyertaan modal kecuali pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas.
Menurut Mahkamah, norma yang berisi larangan tersebut bukan dimaksudkan untuk membatasi BPRS sebagaimana didalikan Pemohon, melainkan suatu bentuk perlindungan agar BPRS terhindar dari berbagai masalah yang berisiko tinggi terhadap kelangsungan usaha sebagai akibat dari alokasi permodalan BPRS yang tidak sesuai dengan arah pengembangannya. Penyertaan Modal BPRS tersebut merupakan upaya negara membentuk jaring pengaman bagi bank pada saat mengalami kesulitan likuiditas. Apabila dibuka larangan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 huruf e UU 21/2008, hal ini juga perlu diikuti penyesuaian atas beberapa peraturan perundang-undangan terkait dengan permodalan BPRS. Tidak hanya itu, norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 adalah upaya untuk melindungi keberlanjutan BPRS serta perlindungan nasabah serta pihak-pihak lain yang memiliki hubungan hukum dengan BPRS. Dengan demikian, Pemohon telah salah dalam menyikapi maksud dari norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008. Dalam batas penalaran yang wajar, terutama dalam posisi sebagai community bank, larangan dimaksud bukanlah usaha negara untuk menghalangi BPRS mendapatkan sumber modal dari BPRS lainnya, melainkan upaya antisipasi negara dalam melindungi BPRS dan masyarakat yang menjadi nasabah BPRS. Terlebih lagi, norma Pasal 25 huruf e UU 21/2008 tidaklah menutup kemungkinan bagi BPRS untuk mendapatkan modal dari pihak lain, termasuk dari BUS selama memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalil Pemohon ihwal frasa “pada lembaga yang dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas” dalam Pasal 25 huruf e UU 21/2008 menyebabkan BPRS kesulitan memenuhi persyaratan permodalan dan diperlakukan secara berbeda BPRS yang berbentuk perseroan terbatas dengan BUS adalah dalil yang tidak dapat dibenarkan. Sebab, norma a quo merupakan norma yang diatur dengan mengikuti sifat kekhasan BPRS yang justru bertujuan memberikan perlindungan kepada BPRS serta nasabahnya. Dengan demikian, dalil Pemohon a quo adalah tidak beralasan menurut hukum. Sehingg berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, permohonan Pemohon mengenai konstitusionalitas norma Pasal 1 angka 9, Pasal 13, Pasal 21 huruf d, serta Pasal 25 huruf b dan huruf e UU 21/2008 telah ternyata tidak menimbulkan ketidakpastian hukum, tidak menghambat pengembangan diri, dan tidak membatasi untuk mendapatkan kesempatan yang sama sehingga tidak menghalangi BPRS untuk mencapai tujuan perekonomian 202 nasional. Oleh karena itu, dalil-dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Untuk diketahui, Pemohon mendalilkan Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah pada pokoknya membatasi atau melarang BPR Syariah untuk memberikan jasa lalu lintas pembayaran. Implikasinya, Pasal 21 huruf d UU Perbankan Syariah mengatur bahwa BPR Syariah tidak dapat memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah secara mandiri, melainkan hanya melalui rekening Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS.
Menurut pemohon pembatasan dan larangan untuk memberikan pelayanan jasa lalu lintas pembayaran membuat BPR Syariah tidak optimal dalam memberikan pelayanan perbankan kepada masyarakat terutama usaha mikro kecil untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional secara berkelanjutan. Lebih lanjut Kamal mengatakan, Bank Indonesia menetapkan kebijakan National Payment Gateway atau Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang bertujuan mewujudkan sistem pembayaran nasional yang lancar, aman, efisien, dan andal, serta dengan memperhatikan perkembangan informasi, komunikasi, teknologi, dan inovasi yang semakin maju, kompetitif, dan terintegrasi. Dengan adanya norma Pasal 1 angka 9, Pasal 21 huruf d dan Pasal 25 huruf b UU Perbankan Syariah, BPR Syariah tidak dapat menjadi pihak yang terhubung langsung dengan sistem kebijakan GPN. Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal a quo dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana