JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Senin (31/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara dengan registrasi Nomor 96/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Rudi Hartono Iskandar.
Alamsyah Hanafiah selaku kuasa hukum Rudi Hartono Iskandar (Pemohon) dalam persidangan ini secara daring menyebutkan beberapa perbaikan permohonan. Di antaranya perbaikan terkait kewenangan MK, penjelasan tentang kedudukan hukum, dan menyempurnakan objek permohonan. Semula, materi yang dimohonkan untuk diuji di MK yaitu Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf a ke-1, Pasal 1 angka 24, dan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Kemudian dalam perbaikan mengalami perubahan menjadi Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP.
“Permohonan uji materiil yang dimohonkan Pemohon ini agar tidak terjadi lagi kesewenangan penyidik, tidak terjadi rekayasa hukum, dan diskriminasi hukum yang berpotensi terjadi pemerasan dengan menerbitkan 11 surat penyidikan yang memakan waktu bertahun-tahun,” sampai Alamsyah dalam Sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams dan Hakim Konstitusi Arief Hidayat.
Baca juga:
Mempertanyakan Penerbitan Sprindik Berulang Kali
Sebagai informasi, permohonan dengan registrasi Nomor 96/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil KUHAP ini dimohonkan oleh Rudi Hartono Iskandar. Materi yang diujikan Rudi yakni Pasal 1 angka 24 dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Menurut Rudi, pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 1 angka 24 KUHAP berkaitan dengan kewenangan penyidik menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana. Selengkapnya Pasal 1 angka 24 KUHAP menyatakan, “Yang dimaksud dalam undang-undang ini dengan: 24. Laporan adalah Pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana”.
Alamsyah Hanafiah selaku kuasa hukum Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di MK pada Senin (17/10/2022) lalu, menyebutkan kasus konkret Pemohon yang mendapatkan 11 surat perintah penyidikan (sprindik) untuk kasus dan objek yang sama dalam Laporan Polisi Nomor LP/656/VI/2016/BARESKRIM tertanggal 27 Juni 2016. Pemohon merupakan tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah untuk pembangunan rumah susun dan ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Januari 2022. Atas penetapan tersebut, Pemohon mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat untuk memohon pengadilan agar membatalkan penetapan tersangka atas diri Pemohon.
Singkatnya, penetapan tersangka tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat surat tersebut Pemohon harus bolak-balik dan mondar-mandir untuk diperiksa penyidik bahkan hingga tujuh tahun. Menurut Pemohon, pasal a quo tidak mengatur tentang surat penyidikan sehingga kepolisian dapat bertindak sewenang-wenang dan sekehendak hati yang dapat melampaui hak-hak Pemohon.
Selain itu, Pemohon juga mengajukan permohonan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Tidak terjadi rekayasa hukum, diskriminasi hukum terhadap suatu kasus sangkaan tindak pidana yang berpotensi terjadi pemerasan oleh penyidik. Alamsyah mengungkapkan kasus kliennya tersebut sudah 7 tahun dan terkesan menggantung. Namun penyidikan tetap berlangsung.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Muhammad Halim.