JAKARTA, HUMAS MKRI – Definisi dan praktik pemaknaan tenaga kerja yang terbatas pada pekerja formal sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) telah menyebabkan pengabaian pada hak pekerja bagi pekerja rumahan, yang sebagian besarnya adalah perempuan. Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Andi Yentriyani dalam sidang lanjutan uji UU Ketenagakerjaan yang digelar Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (26/10/2022). Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 75/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Lima pekerja rumahan yang terdiri dari Muhayati (Pemohon I), Een Sunarsih (Pemohon II), Dewiyah (Pemohon III) yang tinggal di Jakarta dan Kurniyah (Pemohon IV), Sumini (Pemohon V) yang tinggal di Cirebon.
“Pengabaian ini menyebabkan kerugian hak konstitusional atas pekerjaan yang layak dan kehidupan yang sejahtera lahir dan batin yang secara eksplisit maupun implisit diamanatkan untuk dijamin di dalam UU Ketenagakerjaan,” ujar Andi dalam sidang yang dipimpin oleh Wakil Ketua MK Aswanto tersebut.
Andi menguraikan lebih lanjut bahwa kerugian yang dialami oleh pekerja rumahan akibat definisi dan pemaknaan terbatas UU Ketenagakerjaan pada sektor formal memiliki dimensi gender yang karenanya mengakibatkan pengalaman khas pada perempuan. Selain kehilangan hak-hak pekerja yang bersifat umum, ada juga hak-hak yang bersifat khusus pada perempuan pekerja, yaitu terkait jaminan pada hak maternitas dan hak bebas dari kekerasan berbasis gender.
“Kondisi ini menyebabkan perempuan pekerja tidak dapat menikmati haknya secara setara sebagai warga negara dan manusia atas jaminan konstitusional atas hak bekerja, atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan dan untuk hidup sejahtera lahir dan batin sebagaimana termaktub dalam Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28 D Ayat (2) dan 28 H Ayat (1) UUD NRI 1945, sekaligus juga kehilangan hak atas jaminan rasa aman sebagaimana diatur dalam Pasal 28G Ayat (1) UUD NRI 1945,” urai Andi.
Baca juga:
Lima Pekerja Rumahan Uji UU Ketenagakerjaan
Perlindungan Hak Perempuan
Selanjutnya, Andi menegaskan diperlukan untuk merespons kebutuhan perlindungan hak perempuan pekerja rumahan dalam UU Ketenagakerjaan. Selain itu, sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, Indonesia memiliki kewajiban untuk melakukan uji cermat dan tuntas untuk memastikan langkah koreksi dalam merevisi, mencabut dan membuat hukum atau peraturan baru dalam menghadirkan keadilan dan kesetaraan yang substantif. “Sekaligus untuk melaksanakan jaminan hak konstitusional atas kemudahan dan perlakuan yang khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama,” paparnya.
Oleh karena itu, sambung Andi, hubungan kerja dalam UU Ketenagakerjaan perlu dimaknai dan tidak terbatas pada relasi pengusaha dengan pekerja tetapi juga untuk mengakui adanya hubungan kerja antara pemberi kerja dengan pekerja karena adanya perintah tersebut secara tertulis maupun secara lisan.
“Dan untuk itu saya berharap bahwa Majelis Hakim dapat mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya paling tidak menyatakan permohonan pemohon dapat diterima dan bahwa Pasal 1 angka 15 dan Pasal 50 dari UU Ketenagakerjaan ini tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Pasal 27 ayat (1) maupun Pasal 28i ayat (2) dari UU NRI 1945 sepanjang hubungan kerja di dalam UU Ketenagakerjaan ini dimaknai untuk mencakup hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh dan juga hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja atau buruhnya. Dan apabila Yang Mulia Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain mohon putusan seadil-adilnya,” tegas Andi.
Baca juga: Pekerja Rumahan Penguji UU Tenaker Perbaiki Permohonan
Konvensi ILO
Sementara Miranda Fajerman yang merupakan spesialis Hukum Perburuhan Kantor Sub-Regional ILO untuk Eropa Timur dan Asia Tengah mengatakan konvensi ILO No.177 tentang Kerja Rumahan dibentuk pada tahun 1996 sebagai tanggapan terhadap kondisi kerja di bawah standar yang dialami oleh pekerja rumahan di seluruh dunia.
Hal ketenagakerjaan pekerja rumahan bertepatan dengan meningkatnya fleksibilitas pasar tenaga kerja dan proses produksi dan tingginya tingkat semi pengangguran dan pengangguran. Pemberi kerja menemukan semakin banyak cara yang berbeda serta fleksibel untuk mempekerjakan tenaga kerja. Praktik perekrutan, sub-kontrak dan tenaga kerja panggilan tersebar luas dan memberikan kontribusi terhadap kerentanan dan kerawanan dalam ketenagakerjaan. kerja rumahan adalah salah satu contoh dari praktik ini.
"Kerja rumahan biasanya melibatkan pemberi kerja dari badan hukum atau non-hukum yang menyediakan pekerjaan melalui instruksi atau perjanjian secara lisan bagi para pekerja rumahan, terutama di sektor manufaktur, tetapi terkadang juga di industri jasa," ujar Miranda.
Menurut Miranda, kesulitan dalam memastikan para pekerja rumahan agar memiliki pekerjaan yang layak, dan dalam mengatur jenis pekerjaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa justru hubungan kerja yang rentan dan rawan inilah yang sering tidak dicatat atau dipantau dan tidak adanya mekanisme pengawasan yang sesuai atau efektif saat ini. “Dengan anggapan, para pekerja rumahan masih merupakan pekerja ‘tidak terlihat’. Konvensi Nomor 177 diadopsi secara tepat untuk menangani ketenagakerjaan terselubung dari para pekerja rumahan dan memastikan pekerjaan yang layak,” ujarnya.
Definisi para pekerja rumahan yang ditetapkan oleh Konvensi ILO No. 177 adalah "seseorang yang melakukan pekerjaan dirumahnya atau di tempat lain pilihannya, selain di tempat kerja dari pemberi kerja; dengan remunerasi atas hasil suatu produk atau layanan sebagaimana ditentukan oleh pemberi kerja, terlepas dari siapa yang menyediakan peralatan, bahan atau perlengkapan lain yang digunakan". Definisi para pekerja rumahan ini mencakup elemen-elemen umum dari hubungan kerja - pekerjaan yang ditentukan, remunerasi, dan tingkat subordinasi.
Miranda mengatakan, konvensi ini membedakan para pekerja rumahan dari kategori pekerja lain yang melakukan pekerjaan di tempat selain tempat kerja dari pemberi kerja. Para pekerja "tingkat otonomi atau/dan kemandirian ekonomi dianggap sebagai pekerja independen", yang mengacu pada wirausahawan atau para pekerja rumahan yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, dan berikutnya yaitu para pekerja yang "kadang-kadang melakukan pekerjaan sebagai tenaga kerja di rumah, bukan di tempat kerja mereka yang biasa", seperti pekerja yang kadang-kadang bekerja melalui jarak jauh, tidak dikategorikan sebagai pekerja rumahan menurut Konvensi. Ia menegaskan, konvensi No.177 belum diratifikasi oleh Indonesia. Meskipun demikian, konvensi ini menyediakan kerangka kerja internasional untuk standar minimum yang akan diterapkan untuk kerja rumahan.
Baca juga: Hubungan Kerja Pekerja Rumahan dan Umum Seharusnya Sama
Sebelumnya Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022 mendalilkan sebagai pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Namun mereka mendapat perintah pekerjaan dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Pada 2017, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan bahwa tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja.
Namun pekerja rumahan dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan bahwa karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut Pemohon, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Serta menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim