Oleh Saldi Isra
Saya sampaikan kepada Jaksa Agung, kepada Kapolri, BPKP, saya juga mengimbau karena juga di bawah saya, KPK, BPK kalau bisa melakukan tindakan pencegahan, melakukan penerangan, sosialisasi.... (Presiden Yudhoyono, 15/4)
Pernyataan Presiden Yudhoyono ihwal penjebakan yang dilakukan aparat penegak hukum mendapat kritikan berbagai kalangan yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Saat membuka Konvensi Hukum Nasional, di Istana Negara (15/4), Presiden Yudhoyono mengatakan, â... Yang lebih jelek lagi, jangan sampai menjebak....â
Dihubungkan dengan peristiwa sebelumnya, pernyataan itu dapat dimaknai sebagai respons terbuka Yudhoyono atas penangkapan anggota DPR, Al Amin Nur Nasution (kasus alih fungsi hutan lindung di Pulau Bintan, Kepulauan Riau). Jika tak keliru, ungkapan itu ditujukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pernyataan Presiden itu justru paling merisaukan. Sepanjang melaksanakan tugas penyelidikan dan penyidikan, KPK berwenang menyadap, merekam pembicaraan, atau menjebak. Itu semua adalah tindakan legal, apalagi dengan kian canggihnya modus melakukan korupsi, penjebakan merupakan kebutuhan tidak terhindarkan. Apalagi Mahkamah Konstitusi menyatakan, penjebakan sebagai tindakan konstitusional.
Merisaukan
Masih dalam Pembukaan Konvensi Hukum Nasional, pernyataan Presiden yang paling merisaukan adalah imbauan (salah satunya) kepada KPK untuk melakukan tindakan pencegahan, penerangan, dan sosialisasi. Meski diikuti klausul âkalau bisaâ, imbauan itu dapat dibaca sebagai dorongan kepada KPK untuk mengutamakan tugas pencegahan dalam pemberantasan korupsi. Padahal, sebagai super-body, KPK harus terus didorong melakukan tindakan represif agar memberi efek jera dalam pemberantasan korupsi.
Namun, melihat kian meluasnya praktik korupsi dan dampak yang ditimbulkan, imbauan Presiden itu berpotensi memperlemah KPK dalam agenda pemberantasan korupsi. Perlu dicatat, UU No 3/2002 tentang KPK memberi amanah lain kepada KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi berwenang melakukan pemberantasan korupsi; melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi; dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Melihat luas dan strategisnya tugas KPK, dorongan melakukan tindakan preventif (pencegahan, penerangan, dan sosialisasi) dapat mendegradasi KPK sebagai super-body dalam pemberantasan korupsi. Celakanya, imbauan Presiden ini senada dengan wacana yang dikembangkan banyak kalangan (yang tidak suka dengan sepak terjang KPK), yaitu agar KPK lebih berkonsentrasi pada pencegahan daripada pemberantasan. Jika ini yang diinginkan, KPK tidak tepat disebut âKomisi Pemberantasan Korupsiâ, tetapi âKomisi Pencegahan Korupsiâ.
Selain itu, imbauan Presiden itu tidak sejalan dengan pesan Inpres No 5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Melalui inpres itu, Presiden memerintahkan aparat penegak hukum mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, menghukum pelaku, dan menyelamatkan uang negara. Dengan logika sederhana, pesan itu hanya mungkin dicapai dengan melakukan pemberantasan, bukan pencegahan.
Bisa jadi, keprihatinan akan kian menguat karena imbauan Presiden itu berpotensi membawa agenda pemberantasan korupsi memasuki jalur lambat. Dalam situasi seperti sekarangâdengan kian banyaknya aparat penegak hukum yang terlibat suapâseharusnya KPK didorong untuk mencari berbagai terobosan dalam menyelidiki dan menyidik. Bagaimanapun, dorongan akan menjadi amunisi KPK guna menembus proteksi politik di sekitar koruptor kelas kakap.
Selain itu, imbauan Presiden berpotensi menjadikan KPK mengalami disfungsi seperti dialami kepolisian dan kejaksaan. Jamak diketahui, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak lepas dari performance lembaga penegak hukum konvensional yang belum (baca: tidak) optimal dalam memberantas korupsi. Akibatnya, praktik korupsi kian meluas dan secara sistematis menghancurkan perekonomian nasional.
Suara lembut istana
Komentar berbagai kalangan atas pernyataan Presiden yang melemahkan upaya KPK dalam penanganan korupsi sudah bermunculan (Kompas, 17/4). Suara istana itu amat berbeda dibandingkan periode awal Yudhoyono menjadi Presiden.
Kita tahu, sepanjang 18 bulan pertama Presiden Yudhoyono menjabat, suara istana betul-betul menjadi kabar menakutkan bagi mereka yang diduga terkait korupsi. Banyak langkah dan terobosan dilakukan guna mewujudkan janji untuk memimpin langsung agenda pemberantasan korupsi. Memulai masa jabatan dengan agenda shock therapy, menerbitkan Inpres No 5/2004, membentuk Timtas Tipikor, dan menerbitkan izin pemeriksaan aparat yang terlibat korupsi.
Namun, semua itu seperti menuju titik balik. Misalnya, awal tahun 2006, masyarakat dikejutkan dengan kedatangan beberapa pengutang BLBI ke Kantor Presiden. Dengan dalih melanjutkan kebijakan pemerintah sebelumnya, melalui SK Menteri Keuangan No 15/KMK.01/2006, jika mampu membayar utang mereka hingga akhir tahun 2006, delapan pengutang BLBI akan dibebaskan dari tuntutan pidana. Namun, hingga kini, tidak ada kejelasan apakah mereka yang datang itu melunasi utang. Contoh lain, ketidakjelasan sikap atas bekas anggota kabinetnya yang terkait kasus korupsi.
Menghilangnya suara istana sebenarnya dapat diamati dengan ketidakjelasan pemerintah atas eksistensi Pengadilan Tipikor. Sebagaimana disitir Denny Indrayana (Kompas, 21/4), untuk menjamin tidak adanya dualisme penanganan kasus korupsi, Putusan Mahkamah Konstitusi hanya memberi masa transisi tiga tahun (sejak Desember 2006) untuk membuat Pengadilan Tipikor yang terpisah dari peradilan umum. Namun, setelah berlalu sekitar 17 bulan, suara istana nyaris tak terdengar. Bagi banyak kalangan, penyelesaian transisi Pengadilan Tipikor akan menjadi penentu untuk mengetahui suara istana dalam agenda pemberantasan korupsi menjelang Pemilu 2009.
Yang kita takutkan, suara istana akan makin lembut saat mendekati Pemilu 2009. Semoga tidak.
Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fak Hukum Universitas Andalas, Padang
Sumber: http://www.kompas.com/kompascetak/read.php?cnt=.xml.2008.04.22.00262661&channel=2&mn=158&idx=158
Foto: www.google.co.id