JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (UU Sumbar) pada Selasa (25/10/2022) di Ruang Sidang Panel MK. Perkara Nomor 97/PUU-XX/2022 yang diajukan oleh Dedi Juliasman (Pemohon I), Wahyu Setiadi (Pemohon II), Dicky Christopher (Pemohon III), dan Basilius Naijiu (Pemohon IV) ini mengujikan Pasal 5 huruf c UU Sumbar yang dinilai bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Dalam sidang kedua dengan agenda membacakan perbaikan permohonan, Rinto Wardana selaku kuasa hukum para Pemohon menyampaikan beberapa bagian yang disempurnakan pada permohonannya. Terkait dengan memfokuskan pengujian pada uji materiil, sebab dari perhitungan para Pemohon tenggang waktu untuk uji formil terhadap UU Sumbar telah melewati batas waktu yang ditentukan. Oleh karena itu, para Pemohon mengubah sistematika permohonan sesuai dengan ketentuan MK dalam pengajuan permohonan uji materiil saja. Lebih lanjut Rinto menyebutkan perbaikan permohonan telah dilakukan mulai dari tata letak identitas para Pemohon dan kuasa hukum, kualifikasi para Pemohon sesuai dengan kriteria kerugian konstitusional yang potensial dialami apabila berlakuknya norma a quo.
“Selain itu pada permohonan ini telah pula disertakan dalil dari pasal a quo yang tidak merepresentasikan seluruh adat istiadat budaya yang ada di Sumatera Barat, termasuk pula Mentawai. Pada pasal a quo tidak memberikan ruang dan justru mendiskiminasi etnis adat budaya Mentawai,” jelas Rinto.
Baca juga: UU Sumbar Dinilai Tak Merepresentasikan Kearifan Lokal Masyarakat Mentawai
Pada sidang sebelumnya, para Pemohon menyebutkan karakteristik adat dan budaya masyarakat Kabupaten Mentawai yang khas, tidak terakomodir secara bersama-sama dengan 11 Kabupaten lainnya yang termasuk dalam wilayah Sumatera Barat yang sarat akan nuansa syariat Islam pada Pasal 5 huruf c UU Sumbar. Bahwa nilai falsafah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” yang dianut masyarakat beretnis Minangkabau yang tertuang pada norma tersebut, tidak berlaku mutlak dan tidak pula menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Mentawai. Padahal pada wilayah Sumatera Barat terdapat dua etnis yang mendiami wilayahnya dengan karakteristik yang berbeda. Masyarakat Mentawai memiliki karakteristik berupa penduduk yang memilih agama Kristen dan Katolik, penggunaan bahasa Mentawai sebagai bahasa sehari-hari, memiliki kekerabatan garis keturunan patrilineal.
Hegemoni budaya Minangkabau terhadap budaya Mentawai yang terjadi sejak lama. Salah satunya saat 1970-an dalam penamaan wilayah terkecil di Mentawai yang dikenal dengan istilah ‘laggai’ diganti menjadi ‘nagari’ seperti penamaan pada wilayah Sumatera Barat pada umumnya. Selain itu, beberapa diskriminasi budaya lainnya kerap kali dialami oleh masyarakat Mentawai, seperti stigma tentang perempuan Mentawai, transmigrasi lajang yang diberlakukan ke wilayah Mentawai, dan penggunaan jilbab bagi siswi nonmuslim pada sektor pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga menengah. Sehingga, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat tersebut telah tidak mengakomodir dan menegaskan eksistensi adat istiadat Mentawai sebagai ciri khas masyarakat beretnis Mentawai. UU ini hanya mengakomodir karakteristik adat budaya Minangkabau. Padahal di provinsi ini terdapat dua etnis masyarakat yang bukan merupakan pendatang atau perantauan. Kedua etnis ini merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah geografis dan administratif Sumatera Barat sejak dahulu. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana