JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar persidangan pemeriksaan pendahuluan pengujian Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (UU SBSN) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Sidang perdana Perkara Nomor 100/PUU-XX/2022 digelar pada Rabu (19/10/2022). Perkara ini dimohonkan oleh perorangan warga negara Indonesia, Rega Felix.
Rega Felix dalam sidang yang digelar secara daring menyampaikan Pemohon merupakan perorangan warga negara Indonesia,baik secara potensial maupun aktual merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 25 dan Penjelasan Pasal 25 UU SBSN. Menurut Pemohon, pasal-pasal tersebut memberikan kewenangan untuk memilah-milah prinsip syariah sesuai kehendak Pemerintah, hilangnya hak untuk beribadat Pemohon sesuai dengan keyakinannya, serta hak atas kepastian hukum yang sama terhadap prinsip syariah. Dikatakan Rega, frasa “prinsip-prinsip syariah” dalam Pasal 25 UU SBSN bersifat multitafsir karena mempunyai pengertian jamak.
“Multitafsir ini muncul ketika terdapat pertanyaan apakah yang bersifat jamak adalah lembaga yang menetapkan prinsip syariah atau substansi prinsip syariah di dalam dirinya adalah jamak. Jika pengertian jamak ada pada substansi prinsip syariahnya, tentu pengertian ‘prinsip syariah’ dalam UU 21/2008 sudah mewakili sifat jamak dari substansi prinsip syariah itu sendiri tanpa perlu dinyatakan dalam bentuk ‘prinsip-prinsip syariah’,” ujar Rega di hadapan Ketua Sidang Panel Wahiduddin Adams dengan didampingi oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat.
Menurut Rega, pengertian “prinsip-prinsip syariah” dengan melihat kepada penjelasan Pasal 25 UU SBSN yang menyatakan, “lembaga yang memiliki kewenangan dalam menetapkan fatwa di bidang syariah adalah Majelis Ulama Indonesia atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah”, memberikan makna banyaknya jumlah lembaga yang berwenang menetapkan prinsip syariah. Hal ini menunjukan pluralitas prinsip syariah itu ditentukan dari pluralitas lembaga yang mempunyai kewenangan.
“Konstruksi berfikir Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) sangat rancu karena konteksnya adalah ketika Pemerintah membutuhkan legitimasi prinsip syariah dari otoritas agama, tetapi justru penentuan apakah otoritas agama tersebut memiliki legitimasi menetapkan fatwa prinsip syariah ditentukan oleh penunjukan Pemerintah itu sendiri. Dengan demikian, justru sebenarnya Pemerintah yang memiliki legitimasi untuk menentukan kebenaran prinsip syariah yang tidak lain justru kewenangan untuk menetapkan prinsip syariah itu sendiri,” terang Rega.
Lebih lanjut Rega menjelaskan, kerancuan logika berpikir Pemerintah menunjukan bahwa Pemerintah tidak menginginkan kehilangan kontrol atas keyakinan agama rakyatnya (prinsip syariah). Pemerintah berdalih agar masyarakat tidak kebingungan memilih lembaga fatwa yang majemuk di masyarakat maka penetapan prinsip syariah terkait perbankan syariah hanya dapat melalui MUI. Sedangkan jika Pemerintah yang membutuhkan, Pemerintah bebas menunjuk lembaga fatwa yang dikehendaki. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Fakta yang terjadi setelah ditunjuk satu ormas yang berwenang menetapkan fatwa justru masyarakat menjadi bingung. Masyarakat mulai mempertanyakan apakah transaksi perbankan syariah sah atau tidak sah secara hukum. Praktek umum yang terjadi adalah tidak ada peralihan hak kepemilikan atau balik nama atau pendaftaran kepada bank dalam transaksi perbankan syariah. Namun pemohon meragukan apakah terdapat dasar hukum yang kuat. Keraguan ini didasari kepada masing-masing lembaga memberikan penafsiran yang berbeda,”jelas Rega.
Untuk itu dalam petitumnya, pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan frasa “prinsip-prinsip syariah” pada Pasal 25 UU SBSN tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “prinsip syariah” serta meminta MK untuk menyatakan frase “atau lembaga lain yang ditunjuk Pemerintah” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kewenangan Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga yang berwenang menetapkan fatwa di bidang syariah bersifat sementara sampai dengan dibentuknya lembaga negara yang berwenang menetapkan prinsip syariah di bidang ekonomi syariah”.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta pemohon pada bagian perihal untuk menambahkan pasal yang diujikan dan penjelasannya. Terkait dengan kewenangan MK, Enny menyarankan untuk menambahkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“Karena itu berkaitan dengan kewenangan MK baru kemudian saudara buat kesimpulan terakit denga napa yang diujikan disini, yaitu Pasal 25 dan penjelasan serta batu ujinya. Nanti ini ditambahkan ya, termasuk UU yang baru yang berkaitan dengan yang saya sebutkan tadi itu disempurnakan disitu,” ujar Enny.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk membangun argumentasi pertentangan pasal yang diuji. “Posita mengkontestasikan pertentanganyang dimaksud pertentangan adalah apakah koheren, konsisten atau berkorespondensi gak. Kalau Pasal 25 dan penjelasan ini tidak konsisten, koheren dan berkorespondensi dengan misalnya Pasal 28E ayat (1) atau ayat (2) bertentangannya dimana itu dibangun argumentasinya dan dibuat perbandingan dengan negara-negara lain. Misalnya di negara lain masalah yang berhubungan dengan syariah ini itu diaplikasikan di negara lain itu bagaimana, lah kok di Indonesia begini, itu salah satu perbandingan salah satu yang bisa juga dikemukakan,” terang Arief.
Sebelum menutup persidangan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan pemohon menyerahkan perbaikan permohonan paling lambat Selasa, 1 November 2022. “Berkas perbaikannya baik harcopy maupun softcopy diterima Kepaniteraan MK paling lambat 13.30 wib,” ucapnya. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana