JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pertama pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (UU LLAJ) pada Selasa (18/10/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 98/PUU-XX/2022 ini dimohonkan oleh Irfan Kamil yang berprofesi sebagai wartawan. Pada permohonannya, Pemohon mendalilkan Pasal 273 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 273 yang dinilai bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Pasal 273 ayat (1) UU LLAJ berbunyi, “Setiap penyelenggara jalan yang tidak dengan segera, dan patut memperbaiki jalan yang rusak yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) sehingga menimbulkan korban luka ringan dan/atau kerusakan kendaraan dan/atau barang dipidana dengan penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”
Viktor Santoso Tandiasa selaku kuasa hukum menyebutkan norma tersebut bagi Pemohon telah berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam menentukan siapa penyelenggara negara yang akan dikenai sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran. Sebab, dalam menjalankan profesi sebagai wartawan kerap mengendarai kendaraan dengan kecepatan di atas standar untuk bisa mendapatkan berita sebagaimana deadline yang diberikan oleh pimpinan. Namun akibat banyaknya jalan yang dilalui dalam kondisi rusak, sangat mungkin akan berpotensi pada terjadinya kecelakaan (termasuk bagi Pemohon) karena kondisi jalanan yang dibiarkan rusak dalam waktu yang sangat lama.
Artinya, frasa yang ada pada norma tersebut tidak memberikan kepastian hukum bagi penyidik terutama untuk menilai waktu yang dijadikan ukuran dalam laporan terhadap peristiwa kecelakaan akibat jalan rusak tersebut. Sebab laporan yang diajukan kepada penyidik tersebut tidak dapat diproses sehingga masyarakat tidak dapat meminta pertanggungjawaban saat mengalami kecelakaan akibat jalan rusak, baik di jalan umum, jalan provinsi, atau jalan kabupaten kota.
“Maka telah nyata dan secara aktual ketentuan norma a quo telah menimbulkan kerugian konstitusional bagi Pemohon dan menurut penalaran yang wajar akan terjadi bagi Pemohon. Kerugian konstitusional tersebut dialami Pemohon karena dengan berlakunya ketentuan norma a quo, Pemohon tidak mendapatkan jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” jelas Viktor pada sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo bersama dengan Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Daniel Yusmic P. Foekh sebagai hakim anggota Sidang Panel.
Atas dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah memutuskan “mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; menyatakan Pasal 273 ayat (1) UU LLAJ terhadap kata “yang tidak dengan segera dan patut memperbaiki jalan yang rusak” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “yang telah menerima laporan mengenai kerusakan jalan dan tidak melakukan tindakan perbaikan jalan yang rusak dalam waktu 10 hari”.
Rasionalitas Alasan Permohonan
Dalam nasihat Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Saldi Isra mempertanyakan rasionalitas atas alasan permohonan Pemohon yang menyatakan terjadinya kecelakaan akibat jalan rusak sehingga berpotensi merugikan hak konstitusionalnya. Sebab, dalam analogi sederhana bahwa ketika jalan rusak, maka pengendara akan lebih hati-hati, padahal justru kecelakaan dapat saja terjadi dalam berbagai kondisi, termasuk di jalan tol yang baik. Oleh karena itu, perlu bagi Pemohon untuk membuat alasan yang menguatkan Mahkamah dalam mengoreksi norma yang diujikan pada perkara ini. Berikutnya Saldi juga meminta Pemohon untuk kembali menelaah Putusan MK Nomor 3/PUU-XI/2013 yang digunakan sebagai ukuran untuk menentukan waktu dalam pengaturan sanksi pidana yang dikaitkan dengan permasalahan pada perkara ini.
Sementara Hakim Konstitusi Daniel menyatakan perlu bagi Pemohon untuk mencermati dalam permohonan tentang kecelakaan yang terjadi akibat jalan rusak yang dimaksudkan, misalnya data dari institusi resmi yang menyatakan jumlah kecelakaan yang diakibatkan jalan rusak dan sejenisnya. Selain itu, Pemohon dapat pula menyertakan data-data tentang bentuk pertanggungjawaban kecelakaan yang menyertai penyelenggara negara (pemerintah daerah) yang terjadi pada beberapa daerah.
Berikutnya, Hakim Konstitusi Suhartoyo mencermati untuk penting bagi Pemohon menganalogikan tentang batasan waktu 10 hari yang dimintakan pada norma a quo. Sebab, apabila kecelakaan terjadi pada hari kedua atau sebelum masa 10 hari hal demikian dapat saja bermakna Pemohon membebaskan penyelenggara negara dari pertanggungjawabannya. “Oleh karenanya, perlu dipertimbangkan kembali mengenai batas waktu yang dimintakan tersebut pada Mahkamah,” jelas Suhartoyo.
Sebelum menutup persidangan, Hakim Konstitusi Suhartoyo menyebutkan bahwa Pemohon diberikan waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonan. Naskah perbaikan permohonan dapat diserahkan selambat-labatnya pada Senin, 31 Oktober 2022 pukul 13.30 WIB ke Kepaniteeraan MK. Untuk kemudian, MK akan menyampaikan jadwal sidang selanjutnya. (*)
Penulis : Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Raisa Ayuditha