BOGOR, HUMAS MKRI -
Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya lahir untuk menjawab keresahan atau debat di publik mengenai negara hukum dalam arti rechtsstaat atau negara hukum dalam arti yang lebih luas yaitu rule of law. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto dalam Pendidikan Khusus Provesi Advokat (PKPA) Angkatan Iii Tahun 2022 kerja sama Fakultas Hukum Universitas Indonesia Timur (UIT) dengan DPN Peradi Makassar, Jumat (14/10/2022) secara daring.
Dikatakan Aswanto, konsep rechtsstaat adalah negara hukum yang dituangkan dalam satu kitab peraturan perundang-undangan yang harus dihormati sebagai norma hukum. “Persoalan apakah kandungan norma itu benar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat itu problem lain. Sementara rule of law itu sebenarnya konsep yang sama dengan rechtsstaat. Tetapi, ketika ada norma yang dituangkan dalam undang-undang dianggap tidak sesuai maka ada mekanisme untuk mempersoalkan itu. Ketika itu di Indonesia tidak ada lembaga yang disiapkan bagi para pencari keadilan untuk mempersoalkan undang-undang yang dianggap tidak sesuai dengan konstitusi atau nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Itulah sebabnya pada reformasi lahir beberapa lembaga salah satunya MK,” ujar Aswanto.
Lebih lanjut Aswanto menjelaskan, ketika dilakukan amendemen UUD 1945 di dalam Pasal 24 ayat (2) yang tadinya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung (MA) dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan ditambah oleh sebuah MK. Kewenangan MK dalam Pasal 24C UUD 1945, sambung Aswanto, berkaitan dengan implementasi fungsinya. Terdapat beberapa fungsi yang diemban oleh MK yakni sebagai pelindung konstitusi, penjaga hak-hak asasi warga negara. Kewenangan MK ada empat yakni pertama MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945. “Ketika ada undang-undang yang lahir sebagaimana kita paham bahwa hak-hak konstitusional warga negara itu sudah termaktub dalam UUD 1945. Karena UUD 1945 berisi pokok-pokok maka perlu dijabarkan. Penjabaran konstitusi dituangkan dalam UU. Ketika ada UU yang tujuannya sebenarnya adalah untuk mengkonkritkan norma dasar yang ada di konstitusi tetapi ternyata ketika dituangkan ke dalam UU jaminan hak konstitusional warga negara yang sudah termaktub tersebut malah terabaikan. Oleh sebab itu kalau ada UU yang justru substansinya malah negasikan hak-hak konstitusional yang sudah dijamin dalam UU a quo, maka warga yang merasa dirugikan dapat melakukan pengujian undang-undang ke MK. Nah itu kewenangan pertama MK,”terang Aswanto.
Kewenangan kedua, Aswanto menyebut memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. “Ketika ada kewenangan sengketa lembaga negara yang satu terhadap lembaga yang lain maka yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa itu adalah MK,”jelasnya. Kewenangan selanjutnya adalah memutus pembubaran parpol dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Selain itu, MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD 1945.
Model Pengujian UU
Lebih lanjut Aswanto menerangkan dua model atau dua objek pengujian. Pertama, pengujian formil yang berkaitan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Kedua, pengujian materiil sebagai pengujian undang-undang yang berkenaan dengan substansi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Ia juga menerangkan sejumlah alasan pemohon menguji undang-undang ke MK, antara lain hak-hak konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang, kerugian konstitusionalnya bersifat spesifik, aktual dan potensial. Selain itu harus ada korelasi, hubungan sebab akibat antara hak konstitusional yang dijamin oleh UUD dengan berlakunya undang-undang.
Selanjutnya, kata Aswanto, yang dapat mengajukan sebagai Pemohon di persidangan MK adalah perorangan warga negara, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, serta lembaga negara. Aswanto juga menjelaskan mengenai pemberian kuasa untuk persidangan di MK. Pemohon dan atau Termohon dapat didampingi atau diwakili kuasa hukum, sedangkan badan hukum publik atau privat bisa didampingi kuasa atau menunjuk kuasa.
Kuasa hukum dalam persidangan MK tidak harus advokat. Esensinya agar memberi kemudahan pada access to justice untuk masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar advokat. Sepanjang yang bersangkutan menguasai dengan baik Hukum Acara MK. Selain itu, di MK dikenal adanya pendamping yang mengerti Hukum Acara MK, sepanjang bisa membantu kepentingan-kepentingan prinsipal dengan membuat surat keterangan kepada MK.
Mengenai sistematika permohonan, ungkap Aswanto, terdiri atas identitas Pemohon, Kewenangan Mahkamah, kedudukan hukum, posita, petitum. Sedangkan permohonan untuk berperkara ke MK dapat dilakukan secara luring (offline) maupun secara online (daring).
Tahap Persidangan
Berikutnya, Aswanto menyinggung tahap persidangan di MK, dimulai dari sidang pemeriksaan pendahuluan yang dihadiri Pemohon dan/atau kuasanya serta dipandu Panel Hakim MK yang terdiri dari tiga Hakim Konstitusi yang wajib memberikan nasihat dan masukan kepada Pemohon. Setelah itu ada sidang perbaikan permohonan yang masih dipandu dengan Panel Hakim MK. Tahap berikutnya, sidang pembuktian untuk mendatangkan ahli, pihak Pemerintah, DPR, MPR atau lembaga-lembaga lainnya untuk memberikan keterangan. Termasuk juga menghadirkan para saksi. Tahap akhir adalah sidang pengucapan putusan.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.