JAKARTA, HUMAS MKRI - Karakteristik adat dan budaya masyarakat Kabupaten Mentawai yang khas, tidak terakomodir secara bersama-sama dengan 11 Kabupaten lainnya yang termasuk dalam wilayah Sumatera Barat yang sarat akan nuansa syariat Islam. Hal ini menjadi salah satu permasalahan yang dikemukakan dalam sidang pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat (UU Sumbar) pada Rabu (12/10/2022) di Ruang Sidang Panel MK.
Sidang pemeriksaan pendahuluan untuk perkara Nomor 97/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Dedi Juliasman (Pemohon I), Wahyu Setiadi (Pemohon II), Dicky Christopher (Pemohon III), dan Basilius Naijiu (Pemohon IV). Para Pemohon mengujikan Pasal 5 huruf c UU Sumbar yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 18B ayat (2), Pasal 28D ayat (1, Pasal 28E ayat (2), Pasal 28I ayat (2) dan ayat (3), serta Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Pasal 5 huruf c UU Sumbar berbunyi, “Adat dan budaya Minangkabau berdasarkan pada nilai falsafah, adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah sesuai dengan aturan adat salingka nagari yang berlaku, serta kekayaan sejarah, bahasa, kesenian, desa adat/nagari, ritual, upacara adat, situs budaya, dan kearifan lokal yang menunjukkan karakter religius dan ketinggian adat istiadat masyarakat Sumatera Barat.”
Kuasa hukum para Pemohon, Periati Br. Ginting, dalam persidangan secara daring menjelaskan bahwa nilai falsafah “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” yang dianut masyarakat beretnis Minangkabau yang tertuang pada norma tersebut, tidak berlaku mutlak dan tidak pula menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Mentawai. Padahal pada wilayah Sumatera Barat terdapat dua etnis yang mendiami wilayahnya dengan karakteristik yang berbeda. Masyarakat Mentawai memiliki karakteristik berupa penduduk yang memilih agama Kristen dan Katolik, penggunaan bahasa Mentawai sebagai bahasa sehari-hari, memiliki kekerabatan garis keturunan patrilineal.
Periati pun mengungkapkan hegemoni budaya Minangkabau terhadap budaya Mentawai yang terjadi sejak lama. Salah satunya saat 1970-an dalam penamaan wilayah terkecil di Mentawai yang dikenal dengan istilah ‘laggai’ diganti menjadi ‘nagari’ seperti penamaan pada wilayah Sumatera Barat pada umumnya. Selain itu, beberapa diskriminasi budaya lainnya kerap kali dialami oleh masyarakat Mentawai, seperti stigma tentang perempuan Mentawai, transmigrasi lajang yang diberlakukan ke wilayah Mentawai, dan penggunaan jilbab bagi siswi nonmuslim pada sektor pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga menengah.
“Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2022 tentang Provinsi Sumatera Barat tersebut telah tidak mengakomodir dan menegaskan eksistensi adat istiadat Mentawai sebagai ciri khas masyarakat beretnis Mentawai. UU ini hanya mengakomodir karakteristik adat budaya Minangkabau. Padahal di provinsi ini terdapat dua etnis masyarakat yang bukan merupakan pendatang atau perantauan. Kedua etnis ini merupakan penduduk asli yang mendiami wilayah geografis dan administratif Sumatera Barat sejak dahulu,” cerita Periati.
Uji Formil dan Materil
Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul dalam nasihatnya mengatakan agar para Pemohon melengkapi permohonan dengan UU MK terbaru. Kemudian terhadap kedudukan hukum para Pemohon, Manahan menyarankan agar para Pemohon menjelaskan istilah-istilah khusus yang ada dalam budaya Mentawai yang melekat pada diri para Pemohon. Selain itu, Manahan juga menyarankan agar para Pemohon memisahkan dalil pengujian formil dan materil dari pengujian UU Sumbar ini.
“Teliti pula lebih cermat tentang 45 hari sejak UU diundangkan pada 25 Juli 2022, sedangkan permohonan ini teregistrasi di MK pada 8 September 2022, ini hitungannya (apakah) sudah betul?” tanya Manahan.
Sementara Hakim konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh dalam nasihatnya memberikan catatan kecil tentang kedudukan hukum para Pemohon yang berada pada komunitas yang tidak berbadan hukum sehingga kedudukannya pun harus diperjelas pihak yang boleh mewakili di dalam dan luar pengadilan. Namun apabila tidak berbadan hukum, setiap Pemohon menguraikan kedudukan hukum dan kerugian konstitusional masing-masing. Di samping itu, para Pemohon dapat juga memperkuat aspek sosiologis dan yuridis atas keberlakuan UU Sumbar yang potensial merugikan hak konstitusional para Pemohon.
“Pada permohonan ada sejumlah Kabupaten dan Kota, yang ini mewakili Kabupaten Mentawai dan apakah ini hanya mewakili hal yang dialami di Mentawai saja atau di wilayah lainnya. Mungkin saja ada kekhawatiran terjadi diskriminasi dan lainnya,” jelas Daniel.
Selanjutnya Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta para Pemohon mempertegas perihal pengujian ini, apakah perihal pengujian formil atau materil atau bersamaan. Sebab, apabila yang dimohonkan adalah pengujian formil dan materil secara bersamaan dan permohonan diajukan masih dalam tenggang waktu 45 hari sejak UU diundangkan, maka MK akan melihat lebih lanjut. Namun apabila melewati tenggang waktu tersebut, maka akan dinilai NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) oleh Mahkamah. Sedangkan permohonan uji materiil tidak memerlukan tenggang waktu dan dapat diajukan kapan saja.
“Untuk itu, perlu perhatikan lagi tenggang waktu, akan kami selesaikan uji formil terlebih dahulu karena dibatasi waktu dan apabila dipisah antara keduanya akan lebih baik lagi. Jadi perlu cermati lagi tenggang waktu jika ingin mengujikan secara formil,” terang Enny.
Sebelum menutup persidangan, Enny mengatakan para Pemohon diberikan waktu 14 hari sejak sidang hari ini untuk menyempurnakan permohonan. Untuk kemudian dapat diserahkan selambat-lambatnya pada Selasa, 25 Oktober 2022 pukul 14.00 WIB ke Kepaniteraan MK.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Fitri Yuliana.