JAKARTA, HUMAS MKRI – Pekerja rumahan seyogyanya sama dengan pekerja pada umumnya, yang memiliki hubungan kerja dengan pengusaha sesuai dengan pengertian Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Akan tetapi karena terdapat beberapa perbedaan syarat-syarat kerja dengan pekerja formal, hubungan kerja pekerja rumahan dengan pengusaha rentan untuk disamarkan (disguised) dan diklasifikasikan secara salah bukan sebagai hubungan kerja (misclassification). Hal ini disampaikan oleh Saut Christianus Manalu yang merupakan advokat di Indonesian Consultant Law dalam sidang keempat Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022 yang digelar pada Rabu (12/10/2022) siang.
“Karena itulah perlakukan hukum yang sama terhadap pekerja rumahan diperlukan agar hak-hak konstisusionalnya di bidang hukum ketenagakerjaan tidak berkurang atau tidak hilang,” ujar Saut secara daring dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dari Ruang Sidang Pleno MK.
Menurut Saut, dalam hubungan industrial hal terpenting adalah pengusaha yang memiliki perusahaan (setiap badan usaha) sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal 1 angka 6 UU Ketenagakerjaan, pekerja dan pemerintah. Pekerja yang bekerja terikat hubungan kerja dengan pengusaha, memiliki hak dan perlindungan dari seluruh peraturan perundang-undang ketenagakerjaan termasuk akses penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) jika terjadi perselisihan hubungan industrial dengan pengusaha yang mempekerjakannya. Perbedaan signifikan antara Pekerja Rumah Tangga yang tidak tergolong dalam hubungan industrial dan pekerja yang tergolong dalam hubungan industrial, antara lain adalah hak untuk mendapatkan upah sekurang-kurangnya sebesar upah minimum provinsi, kota atau kabupaten.
Baca juga: Lima Pekerja Rumahan Uji UU Ketenagakerjaan
Formalitas Perjanjian Kerja
Saut juga menjelaskan, perjanjian kerja dapat dibuat secara tertulis atau lisan, sebagaimana ditentukan pada Pasal 51 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Meskipun demikian ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan terutama yang berkaitan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial mendorong pelaksanaan perjanjian kerja dilakukan secara formal.
“Pelaksanaan Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan inilah yang sering mengakibatkan hubungan kerja pekerja yang rentan mendapatkan perlindungan atau yang bekerja pada pekerjaan yang hubunan kerjanya rentan disamarkan atau digolongkan sebagai bukan hubungan kerja (disguissed and misclassification of employment relationship),” jelas Saut.
Selain itu, Saut menjelaskan, dalam praktik hukum yang menekankan formalitas, baik yang disengaja oleh pengusaha maupun karena keterbatasan pemahaman para pihak, termasuk aparat penegak hukum, banyak pekerja yang kehilangan atau berkurang hak-haknya untuk mendapatkan perlidungan hukum ketenagakerjaan dan juga akses untuk memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Untuk mengatasi perlakuan berbeda (diskriminatif) terhadap pekerja rumahan, diperlukan tindakan hukum yaitu pengertian pekerja termasuk namun tidak terbatas pada pekerja rumahan sebagaimana yang ditentukan pada Pasal 1 Konvensi ILO No. 177. Selain itu, lanjutnya, dalam memeriksa hubungan kerja, semua pihak tidak boleh berpatokan pada syarat-syarat formal perjanjian, tetapi juga wajib memeriksa fakta-fakta yang sesungguhnya tentang hubungan kerja yang metodenya antara lain ditentukan pada Rekomendasi ILO Tahun 2006, Nomor 198. Dari semuanya itu hal terpenting bagi pekerja rumahan adalah, hak untuk bekerja, mendapatkan perlakukan hukum yang sama tanpa diskriminasi dan syarat-syarat kerja yang adil sebagaimana ditentukan pada Pasal 27 dan 28E UUD 1945 dan Pasal 38 Undang-undang Hak Asasi Manusia dan Konsideran huruf d, pasal 5, 6 UU Ketenagakerjaan.
“UU Ketenagakerjaan kita membedakan antara pekerja, pemberi kerja dan pengusaha membedakan juga tenaga kerja dengan pekerja. Perbedaan-perbedaan ini pada akhirnya memberikan konsekuensi yang berbeda bahkan sangat fatal. Misalnya, pengusaha adalah bagian dari pemberi kerja tetapi pemberi kerja belum tentu pengusaha. Karena pemberi kerja bisa saja memberikan pekerjaan dalam skema kerja rumah tangga. Tidak ada badan usaha yang dilakukan disana. Sehingga pekerjaan rumah tangga dalam permenaker 2015 tidak disebut pengusaha,” terang Saut.
Baca juga: Pekerja Rumahan Penguji UU Tenaker Perbaiki Permohonan
Para Pemohon Perkara Nomor 75/PUU-XX/2022, yakni para ibu yang berprofesi sebagai pekerja rumahan. Pemohon sebelumnya mendalilkan sebagai pekerja rumahan yang secara individu bekerja di rumah atau tidak berada di lingkungan perusahaan. Namun mereka mendapat perintah pekerjaan dari seorang perantara selaku pemberi kerja untuk melakukan suatu pekerjaan berupa produk barang/jasa. Pada 2017, para Pemohon pernah melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk mempertanyakan status perlindungan hukum pekerja rumahan sebagai pekerja dan status hubungan kerja berdasarkan UU Ketenagakerjaan. Namun pihak Kementerian Ketenagakerjaan memberikan tanggapan bahwa tidak ada istilah pekerja rumahan dalam UU ketenagakerjaan. Jika merujuk definisi pekerja pada UU Ketenagakerjaan, pekerja rumahan dapat dikategorikan sebagai pekerja. Namun pekerja rumahan dianggap sebagai pekerja yang berada di luar hubungan kerja. Kementerian Ketenagakerjaan berpandangan bahwa karakteristik pekerja rumahan tidak memenuhi unsur-unsur persyaratan untuk menjadi pekerja yang berada dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan. Oleh karena itu menurut kami, Undang-Undang Ketenagakerjaan belum dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja rumahan.
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Majelis Hakim mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Selain itu, Pemohon meminta agar Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja adalah hubungan antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah”. Serta menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Ketenagakerjaan tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pemberi kerja dan pekerja/buruh”. (*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim