JAKARTA, HUMAS MKRI - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang ketiga pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) pada Senin (10/10/2022). Agenda sidang perkara Nomor 82/PUU-XX/2022 ini adalah mendengarkan keterangan Pemerintah yang diwakili oleh Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Elen Setiadi.
Di hadapan majelis panel yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman didampingi delapan hakim konstitusi, Setiadi menyatakan UU P3 dibentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat, termasuk melalui metode omnibus yang menjadi salah satu sarana akomodasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara keseluruhan, materi muatan yang disempurnakan dalam UU P3 tersebut di antaranya menambahkan metode omnibus sebagai salah satu metode pembentukan perundang-undangan; menambahkan tahapan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan perbaikan kesalahan teknis setelah persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna dan sebelum pengesahan dan pengundangan; memperkuat keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna serta menyempurnakan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan.
“RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak masuk ke dalam Daftar RUU Kumulatif Terbuka, tetapi masuk ke dalam Daftar Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2022. Oleh karena itu, perubahan kedua atas UU P3 bukanlah masuk dalam RUU Kumulatif Terbuka,” terang Setiadi.
Fungsi Partai Politik
Selanjutnya Setiadi menjelaskan dalil para Pemohon yang menyatakan Pemerintah telah mempraktikkan “the co-optation of the ruling party in the parliament”, “the violation of the law and constitution”; dan “the undermined judicial independence”, sehingga telah memenuhi indikator legalisme autokratik yang dikemukakan oleh Scheppele. Atas hal ini Pemerintah berpandangan para Pemohon telah keliru dalam menilai telah berlangsungnya tindakan “the co-optation of the ruling party in the parliament’ yang disebabkan oversized coalition karena hanya terdapat fraksi partai politik yang menolak Perubahan Kedua UU P3. Sebab, sambung Setiadi, hal demikian tidak dapat dibenarkan karena berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf c jo Pasal 12 huruf e Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Partai Politik). Pada intinya, setiap partai politik memiliki fungsi mendasar untuk menyerap, menghimpun, dan menyalurkan aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara. Selain itu, setiap partai politik juga berhak membentuk fraksi di tingkat Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga partai politik sejatinya menjadi representasi aspirasi masyarakat yang terjamin dalam UU Partai Politik yang perlu diberikan penghormatan karena partai politik adalah perwujudan kolektif perjuangan hak masyarakat yang dijamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.
“Sehingga pengambilan keputusan yang telah terlaksana dalam Rapat Kerja antara sembilan fraksi partai dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan pada forum Pengambilan Keputusan Tingkat I terhadap RUU Perubahan Kedua UU 12/2011, patut dipahami sebagai implementasi dari kebebasan partai politik dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat secara kolektif. Maka dari itu, hal demikian tidak serta merta dapat dikatakan telah terjadi kooptasi yang disebabkan minimnya fraksi yang menolak RUU Perubahan Kedua UU 12/2011,” jelas Setiadi.
Baca juga:
Revisi UU P3 Dinilai Tak Memenuhi Syarat
Pemohon Uji Formil UU P3 Lampirkan Bukti Observasi
Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 82/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian formil Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) diajukan oleh lima Pemohon yaitu Ismail Hasani, Laurensius Arliman, Bayu Satria Utomo, Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) serta Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Para Pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di MK pada Senin (5/9/2022) menilai revisi kedua UU P3 tidak memenuhi syarat sebagai RUU kumulatif terbuka. Sebab, UU tersebut bukanlah suatu bentuk tindak lanjut dari Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 karena putusan tersebut sama sekali tidak menyebutkan UU P3 bertentangan dengan UUD 1945. Hal yang seharusnya dilakukan oleh Pemerintah dan DPR adalah melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja yang bermasalah, di antaranya, Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pasal 72 ayat (1) huruf a, Pasal 73 ayat (1), Pasal 96 ayat (3).
Selain itu, para Pemohon juga mendalilkan proses pembahasan UU P3 tidak memperhatikan partisipasi masyarakat dan dilakukan secara tergesa-gesa. Sebab, pada praktik partisipasi dalam pembentukan revisi UU P3 hanya sampai pada tangga “informing” karena informasi hanya diberikan secara satu arah dari pembentuk undang-undang ke publik tanpa adanya saluran untuk memberikan umpan balik dan tidak ada kekuatan untuk negosiasi. Alat komunikasi yang sering digunakan untuk komunikasi ini hanyalah media berita, pamflet, poster, dan alat komunikasi sederhana lainya.
Berikutnya, para Pemohon juga menyebutkan UU P3 merupakan inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna DPR pada 8 Februari 2022 yang disahkan pada 24 Mei 2022. Sehingga proses pembahasan hanya dilakukan selama 7 April 2022 hingga 24 Mei 2022. Di samping itu, para Pemohon mengatakan pembentukan UU P3 melanggar asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Oleh karenanya, revisi dari UU P3 tidak mengindahkan asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Nur R.
Humas: Andhini SF.