JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Pengujian Materiil Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap UUD 1945 pada Senin (10/10/2022). Sidang kesembilan dengan agenda mendengarkan keterangan dua orang Ahli dan satu orang Saksi dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) selaku Pihak Terkait. Sidang perkara yang teregistrasi Nomor 61/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung, Muhammad Nuzul Wibawa, Imran Nating, dkk.
Dosen Hukum Tata Negara dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Fahri Bachmid dalam keterangannya menjelaskan Pasal 54 KUHAP memberikan secara eksklusif kepada tersangka atau terdakwa berupa hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan. Namun melalui ketentuan ini, aparat penegak hukum menjadi membatasi advokat untuk memberikan bantuan hukum kepada saksi. Padahal, sambung Fahri, dalam perkembangan instrumen-instrumen norma hukum di tingkat internasional, advokat dapat memberikan perlindungan kepada saksi maupun saksi-korban, mulai dari saksi korban perkosaan, pelecehan seksual hingga kepada saksi yang membuka rahasia organisasi kejahatan. Hal ini sebagaimana terlihat pada International Criminal Court (ICC). Sehingga, sistem peradilan pidana tidak lagi bertumpu pada pelaku kejahatan versus negara, melainkan setiap unit yang terlibat di dalamnya harus diberikan perlindungan yang sama.
Lebih jelas Fahri menerangkan, dalam proses pengungkapan suatu kasus pidana mulai dari tahap penyelidikan hingga pembuktian di persidangan, peran saksi sangat di harapkan, bahkan keterangannay menjadi faktor penentu dalam pengungkapan suatu perkara. Saat saksi akan memberikan keterangan, jaminan terbebas dari rasa takut sebelum, pada saat, dan setelah memberikan kesaksian harus benar-benar dapat didapatkannya. Sebab hal ini juga akan berguna agar ia memberikan keterangan yang benar-benar murni tanpa ada tekanan dari pihak-pihak tertentu. Sejatinya Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ( UU PSK) telah mengatur beberapa hak yang diberikan kepada saksi dan korban, namun hak-hak yang diberikan tersebut belum cukup memberikan hak-hak kepada saksi dan korban secara lebih spesifik. Misalnya, lanjut Fahri, hak untuk memperoleh pendampingan;
hak mendapatkan kepastian atas status hukum; hak atas jaminan tidak adanya sanksi dari atasan berkenaan dengan keterangan yang diberikan; hak untuk mendapatkan pekerjaan pengganti; hak korban untuk dimintai pendapat pada setiap proses pemeriksaan dan pendapat korban sebagai sarana atau bahan untuk penjatuhan pidana kepada si pelaku.
“Hak-hak itu sebetulnya hak yang sangat penting, mengingat dalam beberapa kasus saksi sangat membutuhkan seorang advokat untuk mendampingi pemeriksaan. Sebab advokat akan membuat saksi jadi lebih nyaman dan merdeka dalam memberikan keterangan dan saksi juga lebih percaya diri karena mendapatkan proteksi secara hukum,” jelas Fahmi menanggapi permohonan Pemohon yang menguji konstitusionalitas Pasal 54 KUHAP.
Baca juga:
Dianggap Halangi Profesi Advokat, KUHAP Diuji
Pandangan DPR, Polri dan KPK Soal Pendampingan Saksi Saat Pemeriksaan
Hak Asasi Advokat
Sementara Nikolas Simanjuntak yang merupakan Ketua Bidang Kajian Hukum Dan Perundang-Undangan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dalam keterangan Ahlinya memberikan pandangan tentang tidak adanya hak dan wewenang penyidik dan negara atau bahkan pemerintah untuk meniadakan, menghalangi, membatasi, dan melalaikan hak asasi dari saksi/terperiksa yang telah mempercayakan kesaksiannya pada advokat. Oleh karenanya, setiap pejabat negara, termasuk pemerintah harus bertanggung jawab menjamin kepastian akurasi, presisi, validitas, dan otentisitas dari pelaksanaan hak-hak tersebut kepada saksi/terperiksa yang telah mempercayakan pada advokat. Sejalan dengan argumen tersebut, ia menegaskan bahwa Pasal 54 KUHAP bertentangan dengan Pasal 28D (1) UUD 1945. Sebagai bentuk tanggung jawab asasi negara yang baik, maka budaya hukum substansi pada pasal tersebut harus dihentikan.
“Sebab, sistem hukum yang terkadung di dalamnya masih berupa mental constructs kolonialis yang dominatif, eksploitatif, intimidatif terhadap keberadaan saksi, terperiksa, penyidik, advokat atau penasihat hukum, yang seharusnya setara dalam hukum, undang-undang, kode etik, dan sumpah profesi kepada Tuhan Yang Maha Esa,” jelas Nikolas dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi hakim konstitusi lainnya dari Ruang Sidang Pleno MK.
Baca juga:
KUHAP Jamin Hak Tersangka dan Terdakwa
Peradi: Advokat Punya Hak Mendampingi Saksi dalam Proses Pemeriksaan
Rentan intimidasi
Sementara itu, Muhamad Isnur yang merupakan Ketua Umum Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menceritakan kesaksiannya saat mendapingi saksi/terperiksa pada beberapa kasus pidana. Pada 2013, misalnya, Isnur bersama tim dari LBH Jakarta mencoba mendampingi para pengamen Cipulir yang dituduh membunuh. Dalam pemeriksaan pihak LBH dilarang mendampingi karena status masih dalam penyelidikan, sehingga para pengamen tersebut masih sebagai saksi atau terperiksa. Namun pada saat itu, mereka mengalami siksaan karena dipaksa mengaku atas perbuatan yang tidak dilakukan. Penyidik beralasan sebagaimana ketentuan KUHAP, saksi tidak perlu didampingi karena yang berhak didampingi adalah tersangka. Seingkat cerita, pihak keluarga mengungkap pembunuh yang sebenarnya menyerahkan diri pada pihak kepolisian namun ditolak, tetapi ia bersaksi di pengadilan. Oleh karenanya, Pengadilan Tinggi dan dikuatkan oleh Mahkamah Agung menyatakan bebas atas para pengamen tersebut.
“Atas hal ini pihak keluarga tidak terima atas salah tangkap tersebut dan menggugat Kepolisian dan pengadilan pun akhirnya mengabulkan gugatan itu dan menyatakan Kepolisian harus membayar sejumlah ganti rugi terhadap pihak para pengamen tersebut,” cerita Isnur.
Dari beberapa pengalaman lainnya pada 2019 dan 2020 dalam mendampingi banyak pihak saksi/terperiksan dalam berbagai kasus pidana, Isnur melihat bahwa dengan tidak didampinginya saksi maka akan menjadi sangat rentan. Sebab, mereka akan sangat rentan atau potensial terhadap tekanan dan intimidasi. Terlebih lagi, sambung Isnur, terdapat perkembangan adanya istilah konfirmasi dan terperiksa yang tidak ada dalam KUHAP namun nyata dalam praktik hukumnya. “Dalam pengalaman ini pula, kami menemukan banyak kasus di mana seseorang dipanggil dan diperiksa jadi saksi untuk sesaat kemudian dapat saja dijadikan statusnya sebagai tersangka,” kisah Isnur.
Sebelum menutup persidangan terakhir ini. Anwar menginformasikan pada para pihak untuk menyerahkan kesimpulan selambat-lambatnya pada Selasa, 18 Oktober 2022 pukul 11.00 WIB ke Kepaniteraan MK. Sebagai informasi, para Pemohon beranggapan dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitas sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa. Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesi, mengingat tidak ada ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu, dalam Petitum, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa.
Baca juga:
Jamin Ginting: Bantuan Penasihat Hukum juga Diperlukan Saksi dan Terperiksa
Ahli Pemohon Jelaskan Peran Advokat dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sebagai informasi, permohonan Nomor 61/PUU-XX/2022 dalam perkara pengujian materiil KUHAP ini diajukan oleh Octolin H Hutagalung dan sebelas Pemohon lainnya. Para Pemohon yang berprofesi sebagai advokat menguji Pasal 54 KUHAP yang berbunyi, “Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan, menurut tatacara yang ditentukan dalam undang-undang ini”.
Para Pemohon beranggapan bahwa dalam proses perkara pidana, advokat sering dimintai jasa hukumnya untuk mendampingi seseorang, baik dalam kapasitasnya sebagai pelapor, terlapor, saksi, tersangka maupun terdakwa. Menurut para Pemohon, pemberlakuan Pasal 54 KUHAP telah menimbulkan ketidakpastian hukum bagi seorang advokat dalam menjalankan profesinya, mengingat tidak adanya ketentuan-ketentuan dalam KUHAP yang mengatur tentang hak seorang saksi dan terperiksa untuk mendapatkan bantuan hukum serta didampingi oleh penasihat hukum dalam memberikan keterangan di muka penyidik, baik di Kepolisian, Kejaksaan maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk itu, dalam Petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 54 KUHAP Konstitusional bersyarat berdasarkan sepanjang dimaknai termasuk Saksi dan Terperiksa.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: M. Halim