BALI, HUMAS MKRI – “Freedom of Expression and Hate Speech: when values collide in deeply divided societies”; “Unjust Democracy? Value Conflicts and Constitutional Courts in Hungary and Slovakia”; dan “The Republic of Indonesia Constitutional Court on the Effort to Prevent Social Conflicts in the Diverse Society of Indonesia” menjadi tiga makalah terakhir yang disajikan dalam kegiatan The 5th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali, pada Kamis (6/10/2022).
Bertus De Villiers dari State Administrative Tribunal and Curtin University Law School, Australia membahas lebih rinci tentang ungkapan ujaran kebencian dalam konteks kebebasan berekpresi yang ada di India dan Afrika Selatan. Dalam pandangannya terhadap hal yang tampak pada dua wilayah tersebut, ujaran kebencian tidak selalu terbatas pada kata-kata yang sebenarnya ingin diungkap oleh penutur. Namun dapat juga berupa tanda, simbol, lagu, lencana, publikasi, atau sesuatu dalam tulisan yang menyimpulkan suatu ekspresi. 'Ucapan' di sini, sambungnya, dapat diartikan luas dengan hal-hal yang berhubungan dengan indera sehingga dapat diamati lebih dari sekadar kata yang diucapkan. Akan tetapi, lanjutnya, interpretasi ini dalam suatu undang-undang perlu disikapi dengan hati-hati.
Sebagaimana contoh De Villiers menyebutkan permasalahan di Afrika Selatan atas pengibaran bendera nasional pernah dianggap sebagai ujaran kebencian, kendati pengibaran bendera tersebut tidak dilarang oleh Parlemen. Dalam prinsip-prinsip hukum internasional, melindungi individu dari ujaran kebencian sebagaimana yang terjadi pada kasus dua tempat tersebut. Pada dasarnya menekankan pada beberapa aspek dan perspektif, di antaranya hak atas kebebasan berekspresi adalah hak dasar dalam masyarakat yang dan pembatasan yang dilakukan terhadapnya harus proporsional dan terbatas pada bentuk-bentuk yang ekstrem saja.
“Dan pada dasarnya tidak ada definisi universal tentang ujaran kebencian meski banyak negara didorong untuk memberlakukan undang-undang untuk melarang ujaran kebencian. Sehingga pada dasarnya ujaran kebencian didasarkan pada penilaian obyektif saja dan bergantung pada keadaan khusus dari pihak yang dirugikan,” jelas De Villiers pada presentasinya yang didampingi Andy Omara dari Universitas Gadjah Mada, Indonesia dan Alboin Pasaribu dari MKRI sebagai penanggap diskusi hukum dengan dipandu oleh Herlambang P. Wiratraman dari Universitas Gadjah Mada, Indonesia.
Penafsir Konstitusi dan Konflik Sosial
Pembicara berikutnya, Max Steuer dari O.P. Jindal Global University memberikan contoh kasus pada penafsiran nilai-nilai fundamental dapat menjadi sumber konflik sosial. Dalam demokrasi, individu bebas mengembangkan konsepsi nilai. Namun pada tatanan kehidupan politik, MK selaku lembaga yang memiliki otoritas menafsirkan nilai-nilai fundamental dan selaku penjaga konstitusi melalui pernyataan hakim. Pada bahasan ini, Steuer memberi gambaran tentang contoh kasus yang terjadi di Hungaria dan Slovakia dalam periode antara 1990-an dan 2017. Pada presentasi ini, pembahasan Steuer ditanggapi oleh Bayu Dwi Anggono dari Universitas Jember, Indonesia dan Winda Wijayanti dari MKRI.
Berikutnya Radian Salman dari Universitas Airlangga dengan Mohamad Mova AlAfghani dari Universitas Ibn Khaldun Bogor, Indonesia dan Andriani W. Novitasari dari MKRI sebagai penanggap, tampil pada sesi terakhir diskusi. Dalam paparannya, Radian mengatakan keberadaab MKRI sebagai peradilan yang melalui banyak putusannya telah memberi dampak bagi penyeimbang konflik sosial masyarakat Indonesia. Kendati tidak berimplikasi secara langsung, putusan-putusan MK sejatinya berkontribusi dalam meminimalkan konflik sosial dalam masyarakat sehingga mampu menciptakan suasana yang seimbang dalam masyarakat.
“Sebagai lembaga yang memberikan penyelesaian konflik, MK memainkan peran tidak langsung untuk menghambat konflik sosial. Perlu diperhatikan, dalam hal ini tantangan ke depan yang mungkin dihadapi MK dalam menjamin keadilan konstitusional salah satunya MK sangat mungkin mendapat tekanan dari berbagai pihak yang merasa memiliki kepentingan. Sehingga ini dapat saja mempengaruhi prinsip independensi dan imparsialitas MK dalam menjalankan perannya,” papar Radian.
Simposium internasional ini dilaksanakan selama dua hari (Rabu- Kamis, 5-6/10/2022) dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan dari The 5th World Congres of Constitutional Justice (WCCJ). Pada ICCIS Ke-5 ini, MKRI mengajak para akademisi, praktisi, dan peneliti hukum untuk berdiskusi tentang berbagai perspektif wacana dalam memperkuat peran Mahkamah Konstitusi. Adapun topik yang menjadi bahasan para pemakalah di antaranya “Constitutional Interpretation relating to Peace and Reconciliation”; “The Role of Constitutional Courts in Adjudicating Cases relating to Social and Political Conflicts”; “The protection of Human Rights and Democracy by the Constitutional Courts to Settle Conflicts”; dan “Constitutional Courts as Mediators in Armed Conflict and Civil-Military Relations”.
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Tiara Agustina