BALI, HUMAS MKRI – Pada sesi lima Kursus Singkat Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC), para anggota dari AACC menceritakan berbagai pengalaman yang dialami pada peradilan tiap negara, pada Kamis (6/10/2022) di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali. Salah satu pengalaman dibagikan oleh Jeffrey A. Apperson yang merupakan Wakil Presiden Hubungan Internasional National Center for State Courts (NSCS).
Dalam sesi ini, Apperson menungkapkan saat ini, dunia sedang beralih dari sistem peradilan konvesional menuju peradilan yang berbasis teknologi. Ia mengungkapkan memantau sejumlah negara yang mengalami proses transisi tersebut, di antaranya Amerika Serikat, Serbia, Trinidad dan Tobago, Meksiko, serta Nigeria. Menurutnya, proses transisi ini harus dilakukan secara bijak, semisal untuk memfasilitasi peningkatan kinerja lembaga peradilan.
“Pemanfaatan data elektronik yang efektif dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja, meningkatkan akses dan kepercayaan publik, transparansi, efektivitas peradilan, pengelolaan anggaran dan perencanaan secara umum dapat terwujud. Mungkin yang paling penting, penerapan alat teknologi yang efektif dapat menghemat waktu untuk semua orang yang terlibat jika dirancang dan diterapkan secara efektif. Dengan kata lain, untuk meningkatkan produktivitas,” terang Apperson.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Apperson menyarankan adanya pemanfaatan teknologi bagi sistem peradilan secara maksimal. “Pemanfaatan teknologi dapat merekayasa ulang proses bisnis pengadilan secara produktif untuk memfasilitasi peningkatan efisiensi pengadilan dan mematuhi nilai-nilai sosial dan konstitusi,” ujarnya.
Hak Memilih dan Dipilih dalam Sistem Pemilihan di Mongolia
Sementara Dulamsuren Dashdondog dari perwakilan Mongolia membahas mengenai hak untuk memilih dan dipilih dalam sistem pemilihan di Mongolia. Ia mengatakan Mongolia mengadopsi Konstitusi baru yang demokratis pada 1992. Konstitusi mengatur hak asasi manusia dan kebebasan, bentuk organisasi negara, pemisahan kekuasaan negara, dan otoritas organ eksekutif tertinggi yang menjalankan kekuasaan tersebut. Selain itu, konstitusi mendefinisikan demokrasi sebagai metode dasar pemerintahan. “Kemudian, hak warga negara untuk memilih dan dipilih merupakan nilai fundamental demokrasi dan dasar hukum pemilu Mongolia,” ujarnya.
Dikatakan Dulamsuren, Konstitusi Mongolia menyatakan bahwa “Semua kekuasaan pemerintahan di Mongolia akan berada di tangan rakyat. Rakyat Mongolia akan berpartisipasi secara langsung dalam urusan negara, dan juga akan menjalankan kekuasaan tersebut melalui badan perwakilan kekuasaan negara yang dipilih oleh rakyat”. Oleh karena itu, pemilihan umum adalah cara utama untuk menggunakan hak pemerintahan sendiri negara bagian dan lokal bagi rakyat Mongolia. “Sejak zaman kuno di Mongolia pemilihan atau pemungutan suara telah digunakan untuk membentuk organisasi,” ucapnya.
Menurut Dulamsuren, dari akhir abad ke-18 hingga abad ke-19, sistem pemilu Mongolia mengambil bentuknya yang sekarang dan digunakan secara luas di negara-negara dunia. Pemilihan bersifat universal dan warga negara yang berhak memilih berhak untuk berpartisipasi tanpa diskriminasi berdasarkan suku, bahasa, ras, jenis kelamin, asal usul sosial, status, kekayaan, pekerjaan, posisi, agama, pendapat, atau pendidikan.
“Setiap negara telah menciptakan lembaga negaranya sendiri berdasarkan undang-undang metode dan bentuknya sendiri dalam menyelenggarakan pemilihan dan pengesahannya adalah dasar dasar untuk menjamin hak warga negara untuk memilih dan dipilih, prinsip-prinsip pemilihan, dan sistem pemilihan. Oleh karena itu, tujuan dari makalah ini adalah untuk memaparkan hak untuk memilih dan dipilih serta sistem pemilihan parlementer, pelaksanaannya, situasi saat ini, dan beberapa keputusan dari MK Mongolia yang menyelesaikan sengketa terkait dengan sistem pemilu,” terang Dulamsuren.
Penutupan
Dalam penutupan tersebut, Panitera MKRI Muhidin mengatakan, kegiatan tersebut merupakan salah satu agenda dalam rangkaian program The 5th of The World Conference on Constitutional Justice (WCCJ) yang diikuti oleh 99 delegasi, terdiri dari 73 onsite dan 26 virtual. Kegiatan yang diikuti oleh berbagai elemen partisipasi, dari negara dan organisasi, memiliki tujuan yang sama yaitu membangun sinergi pengetahuan dan pengalaman yang diharapkan dapat diimplementasikan di masa yang akan datang di setiap negara dan organisasi peserta. Sejalan dengan itu, diharapkan pula kegiatan yang diikuti oleh peserta dari berbagai latar belakang, negara, dan institusi ini, mampu membentuk kerjasama yang positif dalam upaya untuk tetap membangun kebersamaan melalui pertukaran informasi yang dirasa perlu. sangat dinamis sehingga tercipta keseimbangan dan kemajuan penegakan hukum di setiap lembaga dan negara.
“Kepada setiap peserta, kami ucapkan terima kasih atas segala dedikasinya dalam mengikuti acara ini, baik yang telah diberi kesempatan untuk memberikan masukan dan saran maupun konfirmasi dan pertanyaan, termasuk segala upaya untuk menjamin kondusifitas acara yang terselenggara. telah diatur dengan sangat baik. Sekali lagi, atas nama pimpinan lembaga, panitia penyelenggara menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan dan kesalahan. Semoga setiap upaya positif dapat ditingkatkan dan direalisasikan, dan jika ada kesalahan akan kami perbaiki untuk kepentingan kita semua,” ujar Muhidin.
Untuk diketahui Kursus Singkat Internasional (Short Course) adalah acara resmi yang diselenggarakan setiap tahun oleh Mahkamah Konstitusi Indonesia (MKRI) sebagai Sekretariat Tetap Perencanaan dan Koordinasi AACC. Diinisiasi pertama kali pada tahun 2015, kursus singkat ini mencakup beragam topik mengenai kerja MK dan lembaga yang setara dan pemajuan hak konstitusional dengan pembicara seperti hakim dan mantan hakim MK Republik Indonesia, akademisi, peneliti, dan praktisi di bidang hukum.
Peserta kursus singkat, antara lain panitera pengganti, hakim pelapor, peneliti, staf hukum anggota AACC, serta akademisi dari universitas terkemuka di Indonesia. Latar belakang pembicara dan peserta short course yang beragam ini mendorong terjadinya diskusi yang bermanfaat dari berbagai perspektif serta saling bertukar pengalaman berdasarkan keahlian masing-masing.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P