BALI, HUMAS MKRI-- Hakim Konstitusi periode 2003 - 2008 dan 2015 - 2020 I Dewa Gede Palguna memandu jalannya diskusi dalam simposium internasional yang digelar MK melalui kegiatan The 5th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) di Bali Nusa Dua Convention Center, pada Kamis (6/10/2022). Pada kesempatan tersebut tampil tiga pembicara yakni Woo Young Rhee dari Seoul National University School of Law; Ann Black dari University of Queensland; dan Bayu Dwi Anggono, Rian Adhivira Prabowo, dan Nando Yussele Mardika dari Universitas Jember.
Dalam presentasi berjudul “Exporting a Constitutional Court to Brunei?: An Analysis of Benefits and Prospects”, Ann Black menjelaskan konsep keberadaan Sultan selaku pimpinan negara, kerajaan, dan juga dewan penasihat negara serta ketiadaan (belum adanya) lembaga peradilan konstitusi untuk mengawal hak-hak konstitusional warga negara. Sehingga hingga saat ini, kata Ann, Brunei menjadi sedikit dari negara yang masih menjalankan konsep monarki absolut dalam pemerintahannya. Bahkan atas kuasanya ini, Sultan seolah berada di atas hukum dan menjadi legislator negara karena Sultan dapat melakukan amendemen terhadap konstitusi.
Ditambah pula bahwa peninjauan kembali atas undang-undang telah dihapuskan di Brunei sejak 2004. Oleh karenanya, meski termasuk negara kaya dan makmur namun rakyat Brunei tidak memiliki kebebasan dalam beberapa hal, di antaranya kebebasan berbicara, pers, berserikat, atau kebebasan beragama. Ann mengatakan Konstitusi Brunei memuat pernyataan tentang pemerintahan darurat yang menyerahkan semua kekuasaan pada Sultan tanpa mekanisme check and balances yang efektif. Undang-undang tersebut masih berkelanjutan dan belum ditentukan mekanisme keberlakuannya secara hukum. Sehingga hal ini akan menjadi tugas pertama bagi Mahkamah Konstitusi yang nantinya bertugas mengadvokasi penetapan konstitusional atas legitimasi yang telah ada tersebut.
“Jalan ini akan menjadi cara untuk mengembalikan Brunei sebagai monarki konstitusional dan bukan lagi absolut. Hal ini juga akan memberikan warganya suara yang terntu akan berdampak pada kehidupan mereka,” kata Ann pada presentasinya yang ditanggapi oleh Engin Yıldırım dari MK Turki dan Abdul Ghoffar dari MKRI selau penanggap.
Pengaduan Konstitusional Perorangan
Pada kesempatan ini, Woo-Young Rhee dari Seoul National University School of Law memaparkan “Constitutional Adjudication on Constitutional Complaint as an Institution for Fundamental Rights Protection: The Case of the Republic of Korea” dengan penanggap Bertus De Villiers dari State Administrative Tribunal and Curtin University Law School, Australia dan Mohammad Mahrus Ali dari MKRI.
Woo-Young Rhee mengatakan revisi konstitusi pada 1987 merupakan titik balik bagi demokratisasi dan peningkatan perlindungan hak-hak konstitusional di Korea. Sejak didirikannya MK Korea pada 1988 melalui perubahan konstitusi tersebut yang disertai keputusan yang dihasilkan MK Korea telah berperan dalam memajukan cita-cita demokratisasi dan penghormatan terhadap hak-hak dasar setiap individu di negara tersebut. Dengan adanya reformasi konstitusi membawa perubahan lahirnya ajudikasi konstitusional atas pengaduan konstitusional.
Lembaga ini, sambung Woo-Young Rhee, bertugas sesuai dengan ketentuan Konstitusi dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi melalui MK Korea membatasi kesempatan bagi warga negara untuk mengajukan pengaduan konstitusional apabila terdapat hak-hak dasar warga yang secara langsung dilanggar oleh tindakan yang diambil oleh pemerintah atau otoritas publik lainnya. Pengaduan konstitusional kemudian mengalami peningkatan sehingga secara bertahap memperkuat sifat tujuan dari ajudikasi konstitusional berdasarkan pengaduan konstitusional bahkan untuk pengaduan perorangan.
Pada kesempatan terakhir, Bayu Dwi Anggono, Rian Adhivira Prabowo, dan Nando Yussele Mardika dari Universitas Jember menyajikan paparan berjudul “Constitutional Court and ConflictResolution: Modality and Trajectory in Indonesia Post-Authoritarian Regime.” Kali ini, Zsolt Szabó dari Károli Gáspár University of the Reformed Church, Hungary dan Intan Permata Putri dari MKRI menjadi penanggap yang memberikan catatan terhadap makalah yang disajikan oleh tim dua penulis muda yang didampingi oleh Bayu Dwi Anggono yang tak lain adalah Dekan FH Universitas Jember.
Simposium internasional ini dilaksanakan selama dua hari (Rabu- Kamis, 5-6/10/2022) dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan dari The 5th World Congres of Constitutional Justice (WCCJ). Pada ICCIS Ke-5 ini, MKRI mengajak para akademisi, praktisi, dan peneliti hukum untuk berdiskusi tentang berbagai perspektif wacana dalam memperkuat peran Mahkamah Konstitusi. Adapun topik yang menjadi bahasan para pemakalah di antaranya “Constitutional Interpretation relating to Peace and Reconciliation”; “The Role of Constitutional Courts in Adjudicating Cases relating to Social and Political Conflicts”; “The protection of Human Rights and Democracy by the Constitutional Courts to Settle Conflicts”; dan “Constitutional Courts as Mediators in Armed Conflict and Civil-Military Relations”.
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Tiara Agustina