BALI, HUMAS MKRI – Hakim Konstitusi Suhartoyo membuka secara resmi kegiatan The 5th Indonesian Constitutional Court International Symposium (ICCIS) pada Rabu (5/10/2022) di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali. Simposium internasional yang mengangkat tema “Constitutional Court and Conflict Resolution” ini diikuti perwakilan dari 10 negara, di antaranya Amerika Serikat, Australia, Belanda, dan Korea Selatan, Skotlandia, Kanada, Hungaria, India, Turki, dan Indonesia.
Simposium ini dihadiri oleh 27 pembicara dan penanggap yang hadir secara luring serta kurang lebih sebanyak 300 peserta hadir secara daring. Dalam pembukaan simposium, Suhartoyo mengatakan seluruh pembicara yang merupakan para ahli, praktisi akademik, dan peneliti hukum merupakan hasil seleksi yang ketat dengan standar tinggi.
“Saya berharap diskusi dalam simposium internasional ini dapat berlangsung dengan baik dan hasil diskusinya dapat membantu setiap peserta untuk memahami isu-isu yang relevan dengan tema pada kegiatan ini, berguna juga untuk pengalaman brainstorming dan membangun upaya yang efektif dalam memecahkan masalah yang berkaitan dengan peran dan pelaksanaan kewenangan Mahkamah Konstitusi dan penyelesaian konflik di masyarakat. Nantinya, rangkaian kegiatan ICCIS ke-5 ini akan diakhiri dengan Cultural Program agar para peserta dapat menikmati panorama dan keindahan alam Bali, Indonesia, setelah dua hari penuh berdiskusi nantinya,” sampai Suhartoyo dalam sambutan pembukaan kegiatan yang turut dihadiri oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra sebagai penceramah kunci dan Hakim Konstitusi Periode 2015 – 2020 I Dewa Gede Palguna.
MK dan Penyelesaian Konflik Negara
Selanjutnya Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam ceramah kuncinya mengatakan Simposium Internasional bertema "Constitutional Court and Conflict Resolution" ini bertujuan ini mengkaji lebih dalam peran Mahkamah Konstitusi atau lembaga peradilan sejenis dalam menyelesaikan berbagai konflik di berbagai negara. Peran ini dapat dikaitkan dengan kewenangan MK dalam menafsirkan konstitusi untuk berkontribusi pada perdamaian dan rekonsiliasi. Selain itu, hal lain yang juga perlu mendapat perhatian serius dalam Simposium Internasional ini berupa sejauh mana MK dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dan demokrasi, khususnya yang berhubungan dengan menjaga prinsip-prinsip pemilihan umum yang bebas dan adil. Lebih khusus lagi, saat MK bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan konflik bersenjata dan sipil serta militer.
Sehubungan dengan peran ini, Saldi menyebutkan keberadaan MK dalam menyelesaikan berbagai konflik melalui kewenangan konstitusionalnya yakni menguji konstitusionalitas undang-undang, memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara, memutuskan pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden. Melalui kewenangan tersebut, sambung Saldi, MK telah berhasil menyelesaikan konflik yang signifikan atau potensial.
Sebagai gambaran atas kewenangan MK ini, Saldi menyampaikan tentang persoalan pemilihan kepala daerah yang terjadi di Indonesia. Menyoal ini, MK kerap melakukan terobosan hukum dengan mengutamakan pemenuhan keadilan substantif sehingga tak semata pemenuhan keadilan yang bersifat prosedural. Meski diakui Saldi tidak semua pelanggaran yang terjadi dalam Pilkada dapat berujung pada batalnya hasil, namuan MK umumnya dapat membatalkan hasil pemilu jika terjadi pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif.
“Kalaupun terbukti terjadi pelanggaran pemilu, maka MK tidak akan secara otomatis menjadikan Pemohon sebagai pemenang karena demi kepentingan masyarakat luas dan dengan penuh kehati-hatian, Mahkamah akan memerintahkan penghitungan ulang suara atau pemilihan ulang diadakan di tempat yang bersangkutan atau bermasalah tersebut,” kata Saldi.
Maka berdasarkan pengalaman MKRI dalam menyelesaikan konflik tersebut, Saldi berharap diskusi dalam Simposium Internasional dapat menjadi forum diskusi akademik untuk membahas berbagai dinamika peran peradilan dalam menyelesaikan berbagai konflik. Sehingga tidak hanya berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara di dunia.
Aturan Simposium
Sementara Kepala Pusat Penelitian Pengkajian Perkara dan Perpusatakaan MK Kurniasih Panti Rahayu bersama dengan Pan Mohamad Faiz selaku Asisten Ahli Hakim Konstitusi sekaligus editor dari Constitutional Review Mahkamah Konstitusi menjelaskan beberapa aturan yang harus diikuti para peserta, baik sebagai pembicara, penanggap, dan peserta yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suksesnya simposisum ini. Terhadap artikel yang terpilih nantinya akan diterbitkan pada Constitutional Review yang telah terindeks Scopus. Oleh karenanya, jurnal yang diterbitkan akan mendapatkan berbagai tinjauan pertama dalam diskusi ini dan peninjauan lanjutan untuk kemudian dapat diterbitkan sehingga memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu pengetahuan bidang hukum.
Simposium ini akan dilaksanakan selama dua hari (Rabu- Kamis, 5-6/10/2022) dan menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian kegiatan dari The 5th World Congres of Constitutional Justice (WCCJ). Pada ICCIS Ke-5 ini, MKRI mengajak para akademisi, praktisi, dan peneliti hukum untuk berdiskusi tentang berbagai perspektif wacana dalam memperkuat peran Mahkamah Konstitusi. Adapun topik yang menjadi bahasan para pemakalah di antaranya “Constitutional Interpretation relating to Peace and Reconciliation”; “The Role of Constitutional Courts in Adjudicating Cases relating to Social and Political Conflicts”; “The protection of Human Rights and Democracy by the Constitutional Courts to Settle Conflicts”; dan “Constitutional Courts as Mediators in Armed Conflict and Civil-Military Relations”.
Penulis : Sri Pujianti
Editor : Tiara Agustina