BALI, HUMAS MKRI – Tantangan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di negara-negara Asia dan Afrika sangat berbeda dengan negara Barat atau negara maju lainnya. Pada negara-negara maju, tantangan dapat mencakup persoalan kontemporer. Sementara di negara-negara Asia Afrika, secara faktual penegakan hak asasi manusia masih berkaitan dengan dampak dari konflik politik internal negara, kekerasan, intoleransi, kebebasan berekspresi, perlakuan diskriminatif, hak penyandang disabilitas dan sejenisnya. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam Konferensi Bersama Association of Asian Constitutional Courts and Equivalent Institutions (AACC) dan Conference of Constitutional Jurisdictions of Africa (CCJA) yang dilaksanakan pada Selasa (4/10/2022) di Bali Nusa Dua Convention Centre (BNDCC), Bali.
Dalam sesi diskusi bertema "Constitutional Jurisdictions and Protection of Fundamental Rights: Crossed Looks from Africa and Asia" ini, Arief menyebutkan atas perbedaan antara negara di Asia Afrika dengan negara Barat tersebut, perlu pendekatan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dengan menggunakan pendekatan serta nilai-nilai yang juga berbeda antara negara-negara Barat yang individualis dengan negara-negara di Asia dan Afrika yang komunalis. Oleh karena itu, sambungnya, forum bersama dalam konferensi antara AACC dan CCJA dapat menjadi jalan baru bagi kerja sama kolaboratif badan-badan peradilan konstitusi, terutama untuk ambil bagian dalam solusi potensial guna mengatasi berbagai tantangan dalam kehidupan bernegara. Lebih jelas ia mengatakan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah mengambil porsi dalam sejarah Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 1955 dengan bersiap untuk meneruskan kebersamaan dan solidaritas negara-negara Asia dan Afrika.
“Untuk meningkatkan kerja sama lebih erat dalam berbagai bidang, khususnya dalam menegakkan prinsip supremasi hukum, konstitusionalisme, demokrasi, perlindungan serta pemenuhan hak asasi manusia dalam upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bersama seluruh rakyat ini, maka keberlanjutan konferensi bersama ini dapat membuka peluang untuk membentuk Sekretariat Tetap Bersama Mahkamah Konstitusi Asia-Afrika. Tujuannya satu, untuk menguatkan kerja sama di antara kita, agar kuat bersama, pulih bersama dalam mengawal kemajuan peradaban dan martabat bangsa-bangsa Asia Afrika di atas prinsip keadilan dan perdamaian abadi,” jelas Arief dalam kegiatan yang dipandu oleh Moussa Laraba yang merupakan Sekteraris Jenderal CCJA.
Baca juga: CCJA dan AACC Gelar Konferensi Bersama
Pelaksanaan HAM di Aljazair
Sementara itu, Hakim MK Aljazair Abdelouahab Kherief yang merupakan bagian dari anggota CCJA dalam paparannya menjelaskan mengenai perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) di Aljazair. Menurutnya, HAM di negaranya memiliki kekhasan yang tidak dapat dipersamakan dengan penerapan hak asasi di negara lain di dunia. Sebab, agama dan budaya menjadi pembeda bagi pelaksanaan hak asasi kolektif dan individual di negara tersebut. Dikatakan oleh Abdelouahab, negara Aljazair menghadapi banyak fase yang sebelumnya merupakan daerah jajahan sehingga muncul kepentingan untuk menetapkan konstitusi yang berbeda.
“Aljazair mengadopsi konstitusi terprogram untuk kemerdekaan bangsa Aljazair dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan lainnya yang dalam konstitusi 1989 hasil amendemen yang dibuat usai krisis politik pada rentang waktu 1990 – 2000 telah membuka kesempatan bagi pluralistik politik. Hal ini ditandai dengan munculnya 60 partai politik. Namun kemudian pada amendemen Konstitusi 1996, dibuat suatu larangan untuk mendirikan parta berdasarkan agama, ras, dan golongan. Dalam Pasal 41 pada ketentuan tersebut disebutkan agar masyarakat tidak mendirikan parta politik berdasarkan ras, agama, golongan, dan lainnya. Sementara itu, terkait tentang HAM dimuat pada Konstitusi 2016 dan 2020. Di dalamnya terdapat bab khusus hak dan kebebasan asasi. Selain itu, pada setiap amendemen konstitusi selalu menambah kebebasan termasuk pula tentang kekuasaan Mahkamah Konstitusi dan kewenangannya,” jelas Abdelouahab Kherief, Hakim MK Aljazair.
Lebih lanjut Abdelouahab Kherief menceritakan sejak terbentuknya MK Aljazair dalam penegakan HAM dan konstitusi, sejak November 2021 telah mampu menerbitkan 41 keputusan, dengan perincian di antaranya 6 keputusan pemilu, 32 revisi konstitusi dari sebuah pengujian undang-undang, dan dua keputusan tentang sistem internal dalam MK.
“MK Aljazair merupakan suatu bentuk pengalaman baru di Aljazair untuk batas tertentu agak unik, karena MK kami terdiri dari 11 anggota dengan setegahnya adalah para professor dan representatif dari yudikatif, yang semuanya tidak boleh berasal dari partai politik dan unsur legislatif. Hal ini untuk menjaga independensi lembaga kami,” ucap Abdelouahab Kherief.
Tak Ada Negara yang Lebih Setara
Berikutnya dalam diskusi yang sama bersubtema “Actuating the Bandung Principles on Equality of All People, Races, and Nations in Asia and Africa", Presiden MK Turki Zühtü Arslan mengungkapkan tentang pelaksanaan kesetaraan di negaranya. Dalam pandangannya, semua kesetaraan bangsa tidak diragukan sebagai suatu syarat dalam menegakkan politik yang adil. Prinsip kesetaraan yang ada pada Konferensi Asia Afrika (KAA) mengacu pada persamaan setiap orang dan ras bangsa di dunia. Oleh karena itu, ketentuan PBB yang hanya memberikan hak veto pada lima negara tersebut perlu ditinjau ulang. “Sebab tidak ada negara yang lebih setara dari yang lain,” kata Arslan.
Sehubungan dengan perlindungan hak kesetaraan di Turki, diterapkan pada setiap orang dengan keberadaan yang sama di mata hukum tanpa ada pembedaan terhadap keyakinan, agama, aliran, dan sejenisnya. Selain itu terdapat kewajiban pada pihak berwenang, legislatif, yudikatif untuk menerapkan prinsip kesetaraan tersebut. Sebagai contoh, Arslan mengutip salah satu pasal dalam UU Turki yang dalam Putusan MK Turki bahwa MK meminta pembatalan atas pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan tenaga kesehatan profesional dan diskriminasi terhadap pengacara perempuan yang mengenakan jilbab dalam suatu forum.
“Sebagaimana yang diketahui, persoalan jilbab menjadi perdebatan di Turki, Pemohon mengalami diskriminasi atas keyakinannya. Atas tidak adanya alasan objektif sehingga Pemohon yang berada pada situasi tidak menguntungkan tersebut, maka larangan diskriminasi pada Pasal 10 UU Turki tersebut telah sah dilanggar. Dengan demikian, prasyarat dari perlindungan atas kesetaraan adalah menghomati dan mengakui status orang lain,” jelas Arslan.
Penegakan HAM Butuh Perdamaian dan Demokrasi
Sementara itu, Meaza Ashenafi Mengistu selaku Presiden Mahkamah Agung dan Presiden Dewan Konstitusi Republik Ethiophia menyatakan hubungan Asia dan Afrika telah ada sejak lama dan berjalan dengan baik karena sejarah panjang keduanya. Hubungan ini, kata Meaza, nyata membantu dekolonisasi di Afrika termasuk dalam lingkungan PBB. Bahwa Konferensi Asia Afrika 1955 yang dihadiri 24 negara tersebut, hanya Etiopia, Mesir, dan Sudan yang merupakan perwakilan dari Afrika, sedangkan negara-negara di Afrika lainnya masih dalam jajahan kolonialisme. Diakui oleh Meaza dalam penegakan HAM dibutuhkan perdamaian dan demokrasi. Sebab, demokrasi diperlukan untuk menyelesaikan argumentasi dalam berbagai persoalan negara. Salah satunya melalui MK dan badan yang independen sejenis untuk mencegah kekerasan tingkat nasional.
“Di Afrika, MK berdedikasi menafsirkan UU dan dimandatkan untuk melakukan pemikiran tentang peradilan tertinggi, salah satunya penafsiran terhadap konstitusi dan keluhan yang berkaitan dengan konstitusi,” jelas Meaza yang menghadiri konferensi secara daring.
Untuk diketahui, kerja sama antara AACC dan CCJA dimulai pada 9 Agustus 2017 silam dengan ditandatanganinya nota kesepahaman di Surakarta, Jawa Tengah. Dalam nota kesepahaman tersebut, AACC dan CCJA menyepakati untuk saling berbagi pengalaman dalam melaksanakan kewenangan di masing-masing MK serta lembaga sejenis dalam lingkup penegakan demokrasi serta hukum konstitusi baik di Asia maupun Afrika.
Penyelenggaraan joint conference pertama tersebut merupakan salah satu rangkaian dari Kongres ke-5 The World Conference on Constitustional Justice (WCCJ) yang berlangsung pada Rabu – Kamis (5 – 6/10/2022). Kongres yang diikuti oleh 95 negara dan 4 organisasi tersebut dibuka oleh Presiden Joko Widodo secara resmi pada 5 October 2022 di Bali Nusa Dua Convention Centre, Bali. Selain itu, MKRI menyelenggarakan The 5th Indonesian Constitutional Court International Symposium (The 5th ICCIS) serta The AACC International Short Course yang digelar pada Rabu – Kamis (5 – 6/10/2022). (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.