JAKARTA, HUMAS MKRI – Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan permohonan yang diajukan oleh Ahmad Amin yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak dapat diterima. Sidang Pengucapan Putusan terhadap uji materiil Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen) ini digelar pada Kamis (29/9/2022) di Ruang Sidang Pleno MK. Terhadap Perkara Nomor 77/PUU-XX/2022 yang mendalilkan Pasal 16 ayat (2), Pasal 53 ayat (2), Pasal 55 ayat (2), dan Pasal 56 ayat (1) UU Guru dan Dosen bertentangan dengan UUD 1945 ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh membacakan butir-butir pertimbangan hukum Mahkamah.
Sebelumnya, Pemohon menyebutkan pasal-pasal a quo dinilai telah menduplikasi besaran gaji pokok PNS yang merupakan hak Pemohon menjadi besaran tunjangan profesi sebesar setara satu kali gaji pokok; tunjangan khusus sebesar setara satu kali gaji pokok; dan tunjangan kehormatan guru besar/profesor sebesar setara dua kali gaji pokok. Oleh karena itu, Pemohon berpendapat norma tersebut mengintervensi dan mendikte kewenangan Pemerintah/Presiden dalam merencanakan dan melaksanakan keuangan negara dalam APBN yang terbatas dan manajemen kepegawaian. Intervensi ini menurut Pemohon telah menimbulkan keterjajahan kedaulatan Presiden untuk pengelolaan keuangan negara sehingga Pemerintah enggan menaikkan besaran gaji pokok dan membuat kebijakan gaji ke-14.
Baca juga: Persoalkan Aturan Kenaikan Gaji Pokok dan Tunjangan, PNS Uji UU Guru dan Dosen
Setelah membaca dan mencermati secara saksama uraian dalam kedudukan hukum dan alasan-alasan mengajukan permohonan tersebut, lanjut Daniel, menurut Mahkamah uraian kerugian hak konstitusional demikian tidak berkaitan dengan alasan-alasan permohonan Pemohon. Ditambah pula alasan-alasan permohonan lebih mengesankan sebagai pengujian formil dibandingkan dengan pengujian materiil. Hal ini, sambungnya, dapat dibaca dalam petitum Pemohon yang memohonkan agar Mahkamah menyatakan UU Guru dan Dosen adalah inkonstitusional dan batal demi hukum serta tidak berkekuatan hukum mengikat. Mahkamah berpandangan dengan Petitum demikian Pemohon lebih mempersoalkan kewenangan lembaga negara pembentuk undang-undang (dalam hal ini DPD) dalam mengajukan rancangan undang-undang di bidang pendidikan. Apabila diletakkan dalam kerangka doktriner, maka pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar yang menyangkut kewenangan lembaga merupakan pengujian formil.
“Berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut, permohonan Pemohon adalah tidak jelas atau kabur karena tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021. Menimbang hal demikian, meski Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur sehingga tidak memenuhi persyaratan formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf a dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d PMK 2/2021. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan Pemohon lebih lanjut,” ucap Daniel. (*)
Penulis: Sri Pujianti
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Fitri Yuliana