JAKARTA, HUMAS MKRI – Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah kini bersifat permanen. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Kamis (29/9/2022). Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945.
“Menyatakan dalam Provisi, mengabulkan permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan amar putusan perkara yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irma Lidarti selaku Bendahara Yayasan Perludem.
Baca juga: Perludem Minta Sengketa Pilkada Diadili di MK
Bersifat Permanen
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih yang membacakan pertimbangan hukum Mahkamah mengatakan, ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada yang mengatur keberadaan serta rencana pembentukan badan peradilan khusus pemilihan merupakan conditio sine qua non bagi keberadaan Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada. Pasal 157 ayat (3) UU Pilkada mengatur tentang lembaga yang untuk sementara diberi kewenangan sebagai/menjadi badan peradilan pemilihan di masa transisi atau di masa ketika badan peradilan khusus pemilihan tersebut belum dibentuk.
Enny menambahkan inkonstitusionalitas Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU Pilkada membawa implikasi hilangnya kesementaraan yang diatur dalam Pasal 157 ayat (3) Pilkada, tidak lain karena causa kesementaraan demikian telah hilang. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan tidak lagi terbatas hanya “sampai dibentuknya badan peradilan khusus”, melainkan akan bersifat permanen, karena badan peradilan khusus demikian tidak lagi akan dibentuk.
“Demi memperjelas makna Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 yang tidak lagi mengandung sifat kesementaraan, maka menurut Mahkamah frasa ‘sampai dibentuknya badan peradilan khusus’ harus dicoret atau dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. Dengan dihilangkannya frasa tersebut Pasal 157 ayat (3) UU 10/2016 selengkapnya harus dibaca ‘Perkara perselisihan penetapan perolehan suara tahap akhir hasil Pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi’,” ucap Enny.
Tafsir Pemilihan dalam UUD 1945
Kemudian Enny mengatakan, tafsir atas UUD 1945 yang tidak lagi membedakan antara pemilihan umum nasional dengan pemilihan kepala daerah, secara sistematis berakibat pula pada perubahan penafsiran atas kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk, salah satunya, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“Selanjutnya makna konstitusional yang demikian diturunkan dalam berbagai undang-undang yang terkait dengan kewenangan MK, terutama Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman. Norma demikian pada akhirnya harus dipahami bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan umum yang diadili oleh MK terdiri dari pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat; memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah; memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik provinsi, kabupaten, maupun kota; serta memilih kepala daerah provinsi, kabupaten, maupun kota,” terang Enny.
Baca juga: Persoalan Serius, Peradilan Khusus Pilkada Belum Terbentuk
Bagian Kekuasaan Kehakiman
Enny juga mengatakan, hal lain yang perlu dipertimbangkan oleh Mahkamah adalah badan khusus yang pembentukannya diamanatkan oleh Pasal 157 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016 adalah suatu badan peradilan. Sebagai suatu badan peradilan, Mahkamah berpendapat keberadaannya harus berada di bawah naungan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman UUD 1945.
Menurut Mahkamah, sambung Enny, semua norma mengenai badan/lembaga peradilan diatur dalam satu bab yang sama yaitu Bab IX Kekuasaan Kehakiman yang terdiri dari, antara lain, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945. Rangkaian norma hukum dalam pasal-pasal tersebut mengatur bahwa kekuasaan kehakiman, sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang berada di bawahnya serta oleh sebuah MK. Pembatasan dalam UUD 1945 demikian pada akhirnya menutup kemungkinan dibentuknya suatu badan peradilan khusus pemilihan yang tidak berada di bawah lingkungan MA serta tidak pula berada di bawah MK. Pilihan yang muncul dari pembatasan konstitusional demikian adalah badan peradilan khusus tersebut harus diletakkan menjadi bagian dari MA atau menjadi bagian di MK. Namun mengingat latar belakang munculnya peralihan kewenangan mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah pada beberapa periode sebelumnya, menurut Mahkamah solusi hukum meletakkan atau menempatkan badan peradilan khusus tersebut di bawah MA maupun MK bukan pilihan yang tepat dan konstitusional.
“Apalagi seandainya badan peradilan khusus tersebut direncanakan untuk dibentuk terpisah kemudian diletakkan di bawah MK, hal demikian membutuhkan pengubahan dasar hukum yang lebih berat mengingat kelembagaan MK dibatasi secara ketat oleh UUD 1945 dan undang-undang pelaksananya. Pilihan atau alternatif yang lebih mungkin dilaksanakan secara normatif, dan lebih efisien, bukanlah membentuk badan peradilan khusus untuk kemudian menempatkannya di bawah MK, melainkan langsung menjadikan kewenangan badan peradilan khusus pemilihan menjadi kewenangan MK,” ujar Enny.
Menurut Enny, hal demikian sejalan dengan amanat Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 karena pemilihan kepala daerah adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 22E UUD 1945. Sehingga, berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum sebagaimana diuraikan pada paragraf-paragraf di atas, telah ternyata dalil Pemohon berkenaan dengan ketentuan norma Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan frasa “sampai dibentuknya badan peradilan khusus” dalam ayat (3) UU 10/2016 bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 22E, Pasal 24C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Belum Juga Dibentuk
Mahkamah juga mempertimbangkan telah bertindak sebagai badan peradilan yang mengadili perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sejak kewenangan tersebut dialihkan dari MA ke MK tahun 2008 hingga saat ini. Kewenangan tersebut dilaksanakan di tengah fakta hukum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang berpendapat bahwa perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah “seharusnya” tidak ditangani oleh MK.
“Terlepas dari keberatan konseptual/teoritis yang dikemukakan Mahkamah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013, fakta hukum demikian menunjukkan bahwa pada kenyataannya Mahkamah tetap menjalankan peran sebagai badan peradilan khusus pemilihan dalam sifatnya yang sementara. Peran demikian, sekali lagi, dari perspektif hukum Indonesia, sejak beralih dari MA kepada MK pada tahun 2008 hingga saat ini belum pernah dilaksanakan oleh lembaga atau badan peradilan tertentu selain MA dan MK,” ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum.
Arief melanjutkan, suatu kewenangan hukum yang bersifat sementara secara ideal pasti disertai dengan batas waktu kesementaraan tersebut. Pada suatu norma undang-undang yang mengatur kewenangan hukum bersifat sementara, secara ideal pasti sudah dilengkapi dengan norma yang mengatur batas waktu kesementaraan itu. Berpijak dari hal demikian, ketika Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 mengatur pemilihan serentak nasional akan dilaksanakan pada bulan November 2024, maka penalaran hukum mengarahkan bahwa kesementaraan kewenangan yang diamanatkan kepada MK harus berakhir sebelum bulan dan tahun dimaksud.
“Namun hingga dilangsungkannya rangkaian persidangan permohonan a quo, Mahkamah belum melihat upaya konkret dari pembentuk undang-undang untuk membentuk suatu badan peradilan khusus yang ditugasi mengadili atau menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan kepala daerah. Padahal dengan dimajukannya jadwal atau agenda pemilihan kepala daerah serentak secara nasional menjadi November 2024, upaya membentuk peradilan khusus harus menjadi agenda konkret dan mendesak,” jelas Arief.
Sebelumnya, Perludem menguji secara materiil tiga pasal, yaitu Pasal 157 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Pilkada. Menurut Pemohon, Sangat berbahaya jika pelaksanaan penyelesaian perselisihan pemilihan kepala daerah tersebut dilaksanakan oleh institusi atau perangkat yang disebut dalam UU Pilkada sebagai badan peradilan khusus, namun hingga saat ini belum ada wujudnya sama sekali.Untuk itu, Pemohon meminta agar pasal-pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.(*)
Penulis: Utami Argawati
Editor: Lulu Anjarsari P.
Humas: Tiara Agustina